Maria Goretti Rahayu sedang mengeloni putranya, Aloysius Susilo, di malam Minggu yang syahdu. Ysius kelelahan setelah hampir seharian bermain di halaman kapel yang berada di tengah-tengah permukiman, berjarak seperempat jam berjalan kaki dari gubuk mereka di daerah Bintaro Sono Dikit.
Setengah jam sebelumnya, Maria mendongengkan kisah cinta
“999 Kuil, 1 Malam, 2 Sahabat”.
Kelihaian Maria bercerita sempat mengejutkan Ysius, persis di bagian kisah
menjelang fajar merambati pagi, kala ayam jago berkokok bersahut-sahutan
seperti saat ibu-ibu komplek bergosip.
Maria berkata, “Saat itulah, nanti sahabatmu yang berdiang
di pelataran candi akan dengan tegas menyangkalmu. Katanya, ‘Aku tidak kenal dia. Siapa sih yang kamu maksudkan? Guru?
Guru siapa?’”
Ysius tidak mengerti apa maksud cerita dan plot twist
yang didongengkan ibunya. Ia hanya menyimpannya dalam hati dan langit-langit
pikiran, lantas menggumam sambil setengah menguap.
“Doakanlah aku yang sudah mengantuk ini, Bunda, sekarang
dan waktu Bunda memangkuku nanti. Amin.”
Ysius tidur lelap beralas kepala tumpukan
bendel catatan pembukuan penjualan mebel milik ayahnya. Jusuf Ishak, ayahnya,
baru usai mengecat salah satu tiang petunjuk jalan perumahan yang mencatut salah satu nama tanaman bunga. Jusuf memasuki rumah dan berjalan pelan melintasi amben
tempat Ysius tidur.
Jusuf mengecup kening Ysius seraya merapikan lipatan
sarung cokelat yang dipakaikan untuk menyelimuti
tubuh putranya.
Dia tersenyum. “Tidurlah nyenyak, Nak. Kau anakku,
meskipun sesungguhnya bukan anakku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar