Esai Soe Hok-Gie *
BELUM
LAMA BERSELANG di hadapan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra UI telah diputar
Film Cekoslovakia “...Dan Penunggang Kuda Kelima
Adalah Ketakutan” (“...And
The Fifth is Rider is Fear”)**. Film ini adalah kisah tentang
kisah manusia dan ketakutannya, lalu bagaimana akhirnya
ia menemukan dirinya dan mengalahkan ketakutan. Musik, pengambilan tema, maupun suasana film ini sedemikian rupa sehingga mencekam
hati manusia.
Kisahnya
tentang seorang dokter Yahudi yang dilarang praktik oleh Nazi di kota
pendudukan Praha pada waktu Perang Dunia II. Oleh orang-orang NAZI ia disuruh
untuk menolong seorang partisan yang tertembak dan disembunyikan dekat
kamarnya. Ia menolak karena ia tahu apa akibatnya jika ia ketahuan oleh pihak
polisi rahasia.
“Saya bukan seorang dokter, saya
hanyalah seorang penjaga gudang dan oleh karena itu bukanlah kewajiban saya
untuk menolongnya,” katanya. Tapi ia tidak dapat
membohongi kata hatinya, bahwa ia seorang dokter (walaupun sekarang dilarang
praktik) dan harus menolong siapa pun juga. Akhirnya setelah melawan dirinya sendiri, ia memutuskan untuk menolong
partisan yang terluka itu.
Pada
waktu itu seorang dapat dihukum jika ia tidak melaporkan sesuatu yang
mencurigakan. Seorang tetangganya yang curiga dengan tingkah laku sang dokter
melaporkan pada polisi. Karena ia takut akibatnya jika ia tidak melaporkan pada
polisi. Saat sang dokter ditangkap. Ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu.
Jawabnya sangat sederhana: “Seorang manusia adalah
seperti yang dipikirkannya, kau tak dapat mengubahnya.” (A man is as think, you can't change it).
Persoalan
yang dilontarkan pada kita oleh film ini adalah persoalan kemanusiaan… Dan sebagai manusia kita dihadapkan oleh
pemilihan-pemilihan yang meragukan. Sebelum melakukan sesuatu kita harus
menanyakan pada diri kita sendiri: “Siapakah saya?” Dan jawaban kita menentukan pilihan-pilihan kita. Sang dokter tadi juga harus menjawab pertanyaan besar ini.
Jika ia menyatakan hanya seorang penjaga gudang (profesi resminya) maka soalnya
selesai. Demikian pula halnya dengan tetangganya yang melaporkan pada polisi.
Jika ia memutuskan ia hanyalah warga yang harus patuh pada polisi maka
tindakannya adalah benar. Tetapi jika ia menyatakan bahwa dirinya adalah
manusia Cekoslovakia yang harus membantu perjuangan bangsanya, soalnya sangat
berubah. Kitalah yang menentukan diri kita dalam menentukan pilihan-pilihan.
“Ya saya cuma bawahan kecil yang
hanya menurut perintah atasan. Jika atasan saya bilang X maka saya harus
patuh,” kata seorang pembantu letnan pada seorang dosen VI ketika
ditanyakan mengapa ia mau melakukan perintah yang jelas-jelas merupakan
tindakan manipulasi. Sang pembantu letnan tadi telah menentukan dirinya sebagai
manusia kecil dan ia tak pernah berkembang menjadi MANUSIA dengan 'M' besar.
Seorang
jenderal membiarkan dirinya diperalat seorang pedagang besar (katakanlah
diangkat sebagai presiden direktur boneka) biasanya berkata: “Gaji saya tidak cukup, dan anak saya banyak. Lagi pula
teman-teman saya juga melakukan hal yang sama.” Ia
telah menjawab siapakah dia. Dia telah menentukan dirinya seorang alat dan
sebagai alat ia harus memfungsikan dirinya sebaik-baiknya. Sebagai alat ia tak
akan pernah menjadi pemimpin yang baik.
Orang
Indonesia sekarang amat mudah merasionalisasikan keadaan. Kepengecutannya
dirasionalisasi sebagai kesulitan ekonomi (ada seorang dosen malas yang selalu
bilang tak ada ongkos jika ditanyakan mengapa ia tidak mengajar).
Kadang-kadang
kita harus bertanya kepada diri kita sendiri “Siapakah
Saya?” Apakah saya seorang fungsionaris partai
yang kebetulan menjadi mahasiswa sehingga harus patuh pada instruksi dari
bapak-bapak saya dalam partai. Apakah saya seorang politikus yang harus selalu
realistis dan bersedia menerima kompromi-kompromi prinsipial dan tidak boleh
punya idealisme yang muluk-muluk? Apakah saya seorang kecil yang harus patuh
pada setiap keputusan DPP ormas saya, atau pimpinan-pimpinan fakultas saya,
atau pemimpin-pemimpin saya? Ataukah saya seorang manusia yang sedang belajar
dalam kehidupan ini dan mencoba terus-menerus untuk berkembang dan menilai
secara kritis segala situasi. Walaupun pengetahuan dan pengalaman saya
terbatas?
Setiap
hari pertanyaan tadi datang. Saya katakan pada diri saya sendiri: Saya adalah
seorang mahasiswa. Sebagai mahasiswa saya tak boleh mengingkari ujud saya.
Sebagai pemuda yang masih belajar dan mempunyai banyak cita-cita, saya harus
bertindak sesuai dengan wujud tadi.
Karena
itu saya akan berani untuk berterus terang, walaupun ada kemungkinan saya akan
salah tindak. Lebih baik keliru daripada tidak bertindak karena takut salah.
Kalaupun saya jujur terhadap diri saya, saya yakin akhirnya saya akan menemukan
arah yang tepat. Saya adalah seorang manusia dan bukan alat siapa pun juga,
tetapi harus dihayati secara “kreatif”. A man is as thinks.
Kadang
saya bertanya pada kenalan-kenalan saya “Siapakah kamu?” Seorang tokoh mahasiswa menjawab: “Saya adalah antek partai saya. Kebenaran ditentukan oleh DPP
Partai.” ][
Disalin dari dokumentasi Dr. Arief Budiman (kakak kandung Soe Hok-Gie).
Notabene:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar