DALAM CATATAN SASTRAWAN GAEK Putu Wijaya, kata drama lebih diterima di
masyarakat sebagai “sandiwara”. Pemadanan “drama” dengan “sandiwara” adalah
semata demi membumikan drama kepada publik.
Dari akar katanya (sandi ‘rahasia’ dan wara ‘kabar’), sandiwara bermakna
kabar rahasia (“Kearifan Lokal v Kolonialisme Budaya”, Jawa Pos, Minggu,
27 Desember 2009). Maka dapat dikatakan “drama” umumnya lebih dikenal di
kalangan pembelajar. Dramaturgi misalnya, merupakan ilmu yang mengamati drama
dan muatan-muatan yang dikandungnya. Bagi masyarakat kebanyakan, “sandiwara”
cenderung lebih dikenal dan diterima secara akrab.
Maka meluncurlah sebuah kalimat dari budayawan Bakdi Soemanto, “Teater mini kata berbeda dalam menyampaikan pesan dibanding bentuk sandiwara lainnya.” Bakdi yang berorasi pada acara “Dua Tahun Mengenang Rendra” di Museum Karta Pustaka, Yogyakarta, Minggu malam (7/8/2011) silam, mengungkapkan pemikiran sang “Burung Merak” yang ia ingat betul. Pertunjukan teater dapat, bahkan seringkali, dengan mudah membangkitkan emosi penonton. Rasa senang, misalnya. Namun, kata dia, makna suatu pertunjukan teater akan dipahami penonton bila pesannya logis. Karena itu, pesan yang hendak dilontarkan belum tentu dapat cepat ditangkap.
“Penonton seneng, mugo mudeng (penonton senang, mudah-mudahan
mengerti),” seloroh Bakdi.
Lalu, susahkah memahami pertunjukan drama yang umum dikenal sebagai
sandiwara itu? Benarkah sandiwara menjadi kabar yang benar-benar rahasia,
bahkan saat ia dipergelarkan di depan khalayak? Mungkin, masyarakat penonton umumnya
mengganggap itu urusan yang tak harus menambah beban pikiran. Alih-alih
memaknainya sebagai sebentuk komunikasi dan menyerap makna-makna pun amanat
yang terkandung di dalamnya, suatu pertunjukan seni—dalam hal ini
sandiwara—hanya dinikmati sebagai pemenuh dahaga akan hiburan. Ini tidaklah
berlebihan, kesenian hadir di tengah-tengah rakyat juga untuk melepaskan penat
mereka sejenak setelah bekerja.
Lamat-lamat imaji W.S. Rendra mengetuk ingatan saya pada diri mendiang
Heru Kesawa Murti. Heru, pegiat kelompok Teater Gandrik yang disapa dengan Pak
Bina itu (Pak Bina ialah tokoh yang diperankan Heru dalam sebuah porgram drama
televisi di TVRI), dalam suatu wawancara mengatakan kepada saya, bahwa karya
seni selalu merespons keadaan zaman. Demikian pula sandiwara yang seringkali
menanggapi perubahan kehidupan sosial pada suatu masa.
Menurutnya, pada 1970-an, Rendra sebagai penggerak geliat kepenyairan
mengobarkan seni teater ke seantero publik. Kondisi yang diwarnai awan kelabu
pemerintah Orde Baru yang mengontrol ketat peri kehidupan masyarakat, memecut
gelora aspirasi, kritik, pun pemberontakan melalui jalur kesenian. Penghargaan
atas martabat manusia yang kala itu melepuh menjadi nadir turut melecutnya.
Kini, wahana komunikasi yang begitu canggih mengakibatkan potensi seni
pertunjukan dalam melontarkan kritik publik makin tersisih. Alih-alih sampai di
pundak penguasa, pendapat dan kritik yang dimungkinkan tersalur dengan bebas
dan terbuka belakangan ini justru seolah masuk telinga kanan lalu keluar
telinga kiri. Seperti dinilai Heru, pemerintah terlihat enggan menampung
suara-suara rakyat—yang adalah suara Tuhan.
Benih semangat sandiwara yang bernapaskan keprihatinan warga pun makin
kabur. Bila dulu sandiwara menyajikan gambaran kondisi nyata derita masyarakat,
kini kebanyakan tampak mengkreasi isu-isu sosial sebagai sampiran. Isu yang
pelik, seperti diamati Heru, disisipkan dalam cerita yang disajikan sedemikian
rupa hanya berupa satire. Pertunjukan teater kemudian secara menonjol
menghadirkan nilai-nilainya sebagai karya seni.
“Merespons kenaikan BBM (bahan bakar minyak) melalui seni, itu hanya
sindiran saja,” amsal Heru ini sangat jelas terekam di benak saya, walau ia kini
bersama-Nya.
Seni drama dahulu begitu giat berjuang menggoyahkan kepongahan penguasa.
Apa kata dunia bila gairah itu luluh karena berubahnya situasi zaman? Drama
yang dipentaskan cenderung sebagai tontonan, mengundang masyarakat untuk
menyaksikan, dan menghadiahkan sebuah hiburan. Cerita hampir tak menggugah jiwa
penonton terhadap persoalan aktual. Meski mengkritik, pesannya sekadar percikan
sindiran yang sedikit menggelitik.
Pertimbangan dapat atau tidak membangun pembacaan dalam diri khalayak,
lantas mengayuhkan semangat untuk mengubah kondisinya merupakan sesuatu yang
mungkin tak lagi dirasa penting. Jika drama hanya hiburan dan menafikan tuntunan,
barangkali ia kehilangan jati dirinya. Ia tidak merambah terra incognita,
yakni ruang-ruang yang tak terjamah, seperti sempat disinggung Bakdi Soemanto,
selayaknya diperjuangkan oleh seni teater.
Padahal, perpolitikan kita belakangan bergelimang dengan soal. Lembaga pengawas koruptor goyah karena banyak pihak bersilang-sengketa dengan misi oportunis, tarik-ulur aturan hukum atas oknum sebuah partai akbar yang tertangkap di negeri seberang, hingga ancaman disintegrasi yang sebagian dituai dari pohon otonomi daerah. Andai permasalahan itu mampu menyulut satire dalam pentas sandiwara kita, betapa melimpahnya sumber sindiran itu!
Ia menjelma
wilayah yang belum tersentuh, malahan memungkinkan lubernya “kabar yang
menyindir”. Ia adalah terra incognita, juga panggung “sindirwara”.***
Dianggit pertama kali untuk BPPM Balairung UGM, 12 Agustus 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar