Esai Goenawan Mohammad*
PROFESOR
tua yang gemar berdansa itu akhirnya terbaring, sakit, menunggu mati,
pelan-pelan. Sebelumnya, tiap Rabu malam ia selalu pergi ke Harvard Square. Di
sana ia bergabung dengan para mahasiswa, di bawah sorot lampu yang
memancar-mancar dan pengeras suara yang hingar. Ia akan mengikuti irama apa
saja, sebuah tango atau sebuah musik Jimi Hendrix, seraya mengenakan kaus
oblong putih dan celana olahraga hitam dan sehelai handuk yang dikalungkan di
leher. Tak ada yang tahu bahwa pak tua itu seorang guru besar sosiologi
terkemuka di Brandeis University. Tak banyak memang yang mengenal Morrie
Schwartz, sampai penyakit fatal itu menyerangnya dan ia akhirnya terbaring,
sakit, menunggu mati, pelan-pelan.
Kini
sebuah buku ditulis tentang hari-hari terakhir orang tua itu oleh Mitch Albom,
bekas mahasiswanya. Seorang sahabat saya membelikan buku itu, Tuesdays With
Morrie—tentu saja bukan karena ia membayangkan saya terbaring, sakit,
tetapi karena dalam catatan Mitch Albom yang tipis itu (tak sampai 200 halaman)
kita dapat membaca, bagaimana di hari-hari terakhirnya Morrie Schwartz
berbicara, dengan jasad yang semakin macet, tentang pelbagai hal yang
menyangkut hidup dan mati, yang entah kenapa bagi saya menjadi soal harapan.
Dalam
umur 60-an, Morrie seperti terkena asma. Pada suatu hari, ketika berjalan
sepanjang Sungai Charles, angin dingin bertiup ke tubuhnya, dan ia seakan-akan
tercekik. Ia jatuh dan diangkut ke rumah sakit. Dokter menyuntiknya dengan
adrenalin. Beberapa tahun kemudian, ia mulai sulit berjalan. Pada suatu hari,
ia terjatuh di tangga teater. Orang menyangka itu hanya karena ia tua. Tapi
Morrie tahu ada sesuatu yang lebih serius ketimbang itu. Akhirnya ditemukan: Morrie
menderita ALS, atau amyotrophic lateral sclerosis. Sistem sarafnya kena
penyakit yang tak bisa diobati.
ALS
melumerkan saraf kita. Sering dimulai dari kaki, lalu menjalar ke tubuh atas.
Akhirnya kita akan hanya bisa bernapas melalui satu tabung yang dipasang di leher
kita yang dilubangi. Nyawa kita seakan-akan tersisa di dalam onggokan yang
lumpuh, yang hanya bisa mengerdipkan mata. Proses kematian bisa berlangsung
selama lima tahun. Dalam kasus Morrie, dokter memperkirakan dua tahun.
Profesor
yang tak bisa lagi mengajar itu pun tahu tak ada yang bisa ia bantah. Ia
memutuskan: ia akan membuat kematiannya sebagai proyek dia yang penghabisan.
Belajarlah bersama aku, dalam perjalanan sakit menuju Maut yang pasti dan pelan
ini. Maka ia pun membentuk kelompok diskusi tentang kematian, ia menerima
wawancara—dan ia menjadi terkenal ketika di bulan Maret 1995, ia muncul dalam
wawancara dengan Ted Koppel dalam Nightline di televisi ABC. Ia
juga membuka semacam ”kuliah mingguan”.
Itulah yang terjadi pada tiap hari Selasa sampai ajalnya tiba. Mitch Albom, bekas mahasiswanya yang sangat menyayangi guru yang baik itu, menyediakan diri untuk jadi satu-satunya murid. Ia akan datang, sehabis sarapan. Di sisi ranjang tempat sang profesor terbaring dan menatap kembang sepatu yang tampak di jendela ruang studi, ia akan merekam kuliah itu. Dr Morrie Schwartz tak mengajarkan lagi sosiologi, tapi sesuatu yang lebih dalam dan lebih pendek, serangkaian kuliah tanpa buku, yang akan berakhir bukan dengan sebuah wisuda, tapi dengan pemakaman.
@ronirobert/ Instagram
Ada 14 Selasa yang tercatat dalam Tuesdays With Morrie. Ada sejumlah topik yang dibahas, di antaranya tentang kematian, tentang keluarga, tentang emosi, usia tua, cinta, maaf, dan pelbagai hal lain. Dr Morrie Schwartz tidak lagi disebut sebagai mahaguru, melainkan sebagai seorang yang akrab: Albom memanggilnya ”coach” dan juga dengan nama depan, Morrie. Yang diutarakannya kian lama kian ringkas, karena tubuhnya kian lama kian lumpuh. Akhirnya bukan pengetahuan, melainkan kearifan. Tapi intinya bisa disebutkan dalam satu kalimat yang pada Selasa ke-4 ia katakan: ”Sekali kita belajar tentang kematian, kita akan belajar tentang kehidupan.”
Tak
banyak yang aneh dalam kearifan Morrie. Mungkin tak ada yang baru. Intinya
adalah kepasrahan. Ketika akhirnya Morrie tak bisa lagi mengelap kotorannya
sehabis buang air besar, ia menyerahkan diri—tak lagi dengan rasa malu—ke orang
lain. ”Aku mulai menikmati
ketergantunganku,” katanya. ”Seperti kembali menjadi anak-anak.... Kita semua
tahu bagaimana menjadi seorang anak. Ada dalam diri kita itu. Bagi saya, ini
soal mengingat dan menikmatinya”.
Tampaklah
pada Morrie: perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang
lebih kuat dan pasti menang—yang akhirnya berwujud Maut. Perlawanan terakhir
adalah terhadap kepedihan merasa kalah. Kita perlu menang atas godaan untuk menganggap
kemenangan itu satu hal yang paling penting.
Tapi
tidakkah ini hanya sebuah pemberian dalih? Bukankah pasrah memberi kita
ketenangan, tapi tetap saja bahwa ada yang menang dan ada yang kalah, dan kita
tak pernah tahu alasannya? Mungkin. Kita akan
mengatakan, ”jangan-jangan hidup memang tak pernah adil”, dan dengan itu kita
bisa maklum bila kita kehilangan. Atau sebaliknya, kita bisa jadi brutal:
karena hidup tak pernah adil, pengertian keadilan adalah satu hal yang omong kosong.
Mungkin soalnya tinggal memilih.
Morrie
tahu ia jadi korban nasib yang tak ada alasannya. Yang menarik ialah bahwa ia
tak memilih untuk menjadi marah dan membuat orang lain jadi korban. Harapan,
baginya, ialah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh.
Tapi akhirnya ia memberi tahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik,
juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan?
Tempo, 6 Agustus 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar