Google.com/istimewa |
Sebagai sebuah kumpulan cerpen, Sai
Rai memperlihatkan beragam corak lokal Nusa
Tenggara Timur, khususnya di dalam masyarakat Dawan,
Kabupaten Timor Tengah Selatan—daerah dekat tempat
tinggal penulis. Corak tradisional itu antara lain berupa
mitos atau cerita rakyat yang diyakini turun-temurun, ketentuan adat, juga kesenian
tradisi lisan. Semua itu membaur dalam kerangka cerita isu kekerasan yang terjadi di lingkup domestik atau keluarga, juga merembet
lingkup lebih luas seperti pendidikan, komunitas, dan permukiman.
Ada pula benturan pandangan adat dengan aturan normatif yang berlaku menurut ketentuan
lembaga normatif, yakni gereja dan oknumnya.
Menariknya, Dicky menyajikan itu dalam untaian cerita-cerita pendek—ada yang sangat singkat pula, hanya dua halaman—yang mengesankan bahasa puitik. Metafora atas kejadian yang dialami tokoh-tokohnya, dialog-dialog akrab bahkan intim antartokoh, dan penggambaran situasi secara personifikasi adalah kekhasan teknik bercerita dalam kumpulan cerpen ini.
Dalam cerpen “Sutradara yang Memainkan Sendiri Filmnya”, Dicky memunculkan boennitu, nyanyian tradisi lisan khas masyarakat Dawan, Timor Tengah Selatan. Boennitu merupakan bentuk tradisi lisan masyarakat lokal yang mengekspresikan dan mengungkapkan perasaan melalui syair dan pantun dalam upacara adat.
Dalam kisah imajinatif keterpesonaan seorang wisatawan yang mengunjungi permukiman warga Dawan, penulis seolah hendak mengingatkan perlunya merawat bentuk kekayaan tradisi, khususnya boennitu yang merupakan tuturan atau puisi lisan berirama untuk para arwah. Pasalnya, lambat laun boennitu semakin pudar dari tradisi masyarakat setempat. Ini ditengarai karena masuknya pengaruh budaya pop lewat media televisi, radio, dan hiburan baru (Pos Kupang, Minggu, 20 Desember 2009, arsip dapat dilihat di: http://jurnalis-ntt.blogspot.com/2009/12/bonet-tradisi-yang-terlupakan.html).
Tokoh Sutradara dalam cerpen itu mewakili keterperangahan dan ketegangan yang seringkali muncul di masyarakat antara dua pandangan, yaitu Indonesia pusat (sebeut saja Jawa) dan Indonesia timur (NTT). Kekayaan tradisi lokal NTT yang ditawarkan penulis dalam cerpen ini mengingatkan kita bahwa ada persoalan laten dalam masyarakat berbangsa kita. Sebagian kelompok mayoritas kerap terjebak memandang keberagaman budaya kelompok atau suku lain sebagai semata yang “yang lain”, berbeda, atau “liyan”. Akibatnya, hal ini berpotensi memantik konflik dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural.
Sementara pada cerpen “A’bonenos dan Perempuan yang Agung”, dihadirkan gambaran NTT sebagai provinsi di Indonesia timur yang menyimpan kekayaan bersifat turisme. Di balik selisik bentang alam berbukit, terkandung cerita-cerita rakyat atau mitos. Salah satu yang dikisahkan dalam cerpen ini adalah keyakinan warga kampung terhadap mitos di balik lukisan tiga orang biseksual di dinding batu air terjun keramat. Bagi pembaca di luar NTT yang awam dengan mitos tersebut, bagian ini tentu menggugah keingintahuan—selain juga merasa asing. Pengisahan dengan sebagian kalimat-kalimat yang menggunakan bentuk larik-larik puisi membuat kita cukup terhibur dan dapat mengikutinya.
Lebih dari itu, persetubuhan ketiga karakter biseksual—A’bonenos, Perempuan yang Agung, dan Perempuan Bersuara Lembut—dikisahkan secara ringkas. Dari sini, cerpen ini menyajikan kenyataan bahwa dalam kekayaan pesona masyarakat lokal, tersembul kisah mengenai hubungan yang “terlarang” dalam pandangan umum atau normatif. Selanjutnya, mitos itu telah meninggalkan jejak berupa lukisan ketiga karakter tersebut di dinding air terjun yang memancing perhatian wisatawan.
Tak hanya itu, mencuplik ritus lokal yang berlaku di Timor Tengah Selatan, sebuah adegan penobatan Perempuan yang Agung turut dikisahkan. Namun, penulis tak sekadar bercerita, tapi turut mengungkap keberadaan tokoh perempuan agung yang mengalami luka batin dari masa lalunya. Si perempuan mengalami pelecehan seksual dari para lelaki sahabat ibunya. Maka, sesudah pembersihan dari pengalaman kelam masa lalu, dia harus berhadapan lagi dengan ketentuan adat: dipingit. Gambaran cerita ini menunjukkan betapa kukuhnya patriarki menindas kaum perempuan dalam ‘lingkaran setan’ aturan adat.
Menariknya, Dicky menyajikan itu dalam untaian cerita-cerita pendek—ada yang sangat singkat pula, hanya dua halaman—yang mengesankan bahasa puitik. Metafora atas kejadian yang dialami tokoh-tokohnya, dialog-dialog akrab bahkan intim antartokoh, dan penggambaran situasi secara personifikasi adalah kekhasan teknik bercerita dalam kumpulan cerpen ini.
Dalam cerpen “Sutradara yang Memainkan Sendiri Filmnya”, Dicky memunculkan boennitu, nyanyian tradisi lisan khas masyarakat Dawan, Timor Tengah Selatan. Boennitu merupakan bentuk tradisi lisan masyarakat lokal yang mengekspresikan dan mengungkapkan perasaan melalui syair dan pantun dalam upacara adat.
Dalam kisah imajinatif keterpesonaan seorang wisatawan yang mengunjungi permukiman warga Dawan, penulis seolah hendak mengingatkan perlunya merawat bentuk kekayaan tradisi, khususnya boennitu yang merupakan tuturan atau puisi lisan berirama untuk para arwah. Pasalnya, lambat laun boennitu semakin pudar dari tradisi masyarakat setempat. Ini ditengarai karena masuknya pengaruh budaya pop lewat media televisi, radio, dan hiburan baru (Pos Kupang, Minggu, 20 Desember 2009, arsip dapat dilihat di: http://jurnalis-ntt.blogspot.com/2009/12/bonet-tradisi-yang-terlupakan.html).
Tokoh Sutradara dalam cerpen itu mewakili keterperangahan dan ketegangan yang seringkali muncul di masyarakat antara dua pandangan, yaitu Indonesia pusat (sebeut saja Jawa) dan Indonesia timur (NTT). Kekayaan tradisi lokal NTT yang ditawarkan penulis dalam cerpen ini mengingatkan kita bahwa ada persoalan laten dalam masyarakat berbangsa kita. Sebagian kelompok mayoritas kerap terjebak memandang keberagaman budaya kelompok atau suku lain sebagai semata yang “yang lain”, berbeda, atau “liyan”. Akibatnya, hal ini berpotensi memantik konflik dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural.
Sementara pada cerpen “A’bonenos dan Perempuan yang Agung”, dihadirkan gambaran NTT sebagai provinsi di Indonesia timur yang menyimpan kekayaan bersifat turisme. Di balik selisik bentang alam berbukit, terkandung cerita-cerita rakyat atau mitos. Salah satu yang dikisahkan dalam cerpen ini adalah keyakinan warga kampung terhadap mitos di balik lukisan tiga orang biseksual di dinding batu air terjun keramat. Bagi pembaca di luar NTT yang awam dengan mitos tersebut, bagian ini tentu menggugah keingintahuan—selain juga merasa asing. Pengisahan dengan sebagian kalimat-kalimat yang menggunakan bentuk larik-larik puisi membuat kita cukup terhibur dan dapat mengikutinya.
Lebih dari itu, persetubuhan ketiga karakter biseksual—A’bonenos, Perempuan yang Agung, dan Perempuan Bersuara Lembut—dikisahkan secara ringkas. Dari sini, cerpen ini menyajikan kenyataan bahwa dalam kekayaan pesona masyarakat lokal, tersembul kisah mengenai hubungan yang “terlarang” dalam pandangan umum atau normatif. Selanjutnya, mitos itu telah meninggalkan jejak berupa lukisan ketiga karakter tersebut di dinding air terjun yang memancing perhatian wisatawan.
Tak hanya itu, mencuplik ritus lokal yang berlaku di Timor Tengah Selatan, sebuah adegan penobatan Perempuan yang Agung turut dikisahkan. Namun, penulis tak sekadar bercerita, tapi turut mengungkap keberadaan tokoh perempuan agung yang mengalami luka batin dari masa lalunya. Si perempuan mengalami pelecehan seksual dari para lelaki sahabat ibunya. Maka, sesudah pembersihan dari pengalaman kelam masa lalu, dia harus berhadapan lagi dengan ketentuan adat: dipingit. Gambaran cerita ini menunjukkan betapa kukuhnya patriarki menindas kaum perempuan dalam ‘lingkaran setan’ aturan adat.
Perwajahan sampul belakang Sai Rai. |
IDENTITAS BUKU:
Judul: Sai Rai
Pengarang: Dicky Senda
Penerbit: Grasindo
Tebal: iv + 145 halaman
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Siklus Kekerasan
Dalam senarai corak tradisi lokal di Timor Tengah Selatan itu, ada tiga macam
kekerasan yang dikisahkan dalam kumpulan cerpen Sai Rai.
Pertama, kekerasan bernuansa politik yang menyisakan kisah kelam bagi warga. Penculikan dan pembunuhan warga setempat yang dikaitkan dengan kelompok komunis pada 1965 telah turut berlangsung dan mendukai kehidupan warga NTT. Kisah bermuatan kekerasan politis ini terungkap pada cerpen “Sai Rai: Lelaki yang Meninggalkan Bumi”, “Liuksaen dan OPK (orang potong kepala) dan Kisah Lainnya”, dan “Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae”.
Sebagaimana penggambaran di cerpen lainnya yang cukup dramatis dan menyerupai pertunjukan, dalam “Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae”, penulis mendeskripsikan kekerasan fisik dengan gamblang. Pembantaian orang-orang yang dianggap tergabung dalam kelompok komunis berdampak sungguh pedih: anak terpisah dari orangtuanya, ibu harus berjuang sendiri menghidupi keluarga, bahkan anak menghabisi nyawanya sendiri demi berjumpa dengan ayahnya yang telah mati.
Kedua, kekerasan struktural yang diwakili oleh aturan adat dan norma ajaran Kristiani terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Korban dari kekerasan struktural ini terutama adalah perempuan dan anak-anak yang mendapat perlakuan tidak manusiawi. Kekerasan struktural ini diungkapkan dalam cerpen “Batu yang Menangis” dan “Suatu Hari di Bioskop Sunlie”. Persoalan dikisahkan berupa dialektika yang cenderung destruktif lantaran meletup-letupkan bara konflik antara adat lokal dan norma agama mayoritas masyarakat setempat. Namun, penulis tak sampai menggurui. Persoalan yang dituturkan dalam setiap cerpen lebih mengantarkan pada perenungan dalam diri pembaca.
Ketiga, peristiwa kekerasan di lingkungan warga lokal setempat juga mencakup kekerasan dalam ruang domestik atau keluarga. Dalam cerpen “Dua Ruangan dengan Seribu Ular” mengungkap isu kekerasan dalam rumah tangga. Sebagaimana umum terjadi di masyarakat Indonesia, kasus ini melukai kaum perempuan dan anak-anak. Dalam kelindan isu politis atau pertentangan dengan adat dan norma gereja, peristiwa kekerasan juga melibatkan struktur sosial lain, seperti pendidikan hingga komunitas dan pemuka agama, pemuka masyarakat, atau tetua adat.
Ketentuan adat yang diyakini turun-temurun telah memunculkan pertentangan dengan aturan yang ditetapkan lembaga gereja beserta oknumnya. Melalui cerpen “Pohon-pohon yang Dibunuh Tim Doa”, kita tersentil dan menjadi geram dengan pilihan kaum rohaniwan yang menebas pohon-pohon yang dianggap mendatangkan bencana bagi warga. Di situ tampak sekali kepongahan oknum gereja yang samasekali tidak memaklumi keyakinan warga lokal pada pohon sebagai sumber hidup, juga tempat lahir dan tinggal. Sementara mitos warga lokal itu pun seperti begitu asing dan tak masuk akal dalam pandangan ajaran Kristiani. Ini merefleksikan putusnya dialog antara tradisi atau budaya lokal dan pandangan agama.
Terhadap hal itu, dalam cerpen ini penulis menerakan kritik secara ringkas tapi cukup tegas: Kita memang akan membiarkan otak untuk malas berpikir dan cepat menyalahkan orang lain yang berbeda. Kita adalah anak-anak yang merasa paling benar dan suci murni. Setiap orang memang akan gampang menentukan seenaknya siapa dari segerombolan domba yang harusnya berperan sebagai kambing hitam. (halaman 125)
Pertama, kekerasan bernuansa politik yang menyisakan kisah kelam bagi warga. Penculikan dan pembunuhan warga setempat yang dikaitkan dengan kelompok komunis pada 1965 telah turut berlangsung dan mendukai kehidupan warga NTT. Kisah bermuatan kekerasan politis ini terungkap pada cerpen “Sai Rai: Lelaki yang Meninggalkan Bumi”, “Liuksaen dan OPK (orang potong kepala) dan Kisah Lainnya”, dan “Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae”.
Sebagaimana penggambaran di cerpen lainnya yang cukup dramatis dan menyerupai pertunjukan, dalam “Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae”, penulis mendeskripsikan kekerasan fisik dengan gamblang. Pembantaian orang-orang yang dianggap tergabung dalam kelompok komunis berdampak sungguh pedih: anak terpisah dari orangtuanya, ibu harus berjuang sendiri menghidupi keluarga, bahkan anak menghabisi nyawanya sendiri demi berjumpa dengan ayahnya yang telah mati.
Kedua, kekerasan struktural yang diwakili oleh aturan adat dan norma ajaran Kristiani terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Korban dari kekerasan struktural ini terutama adalah perempuan dan anak-anak yang mendapat perlakuan tidak manusiawi. Kekerasan struktural ini diungkapkan dalam cerpen “Batu yang Menangis” dan “Suatu Hari di Bioskop Sunlie”. Persoalan dikisahkan berupa dialektika yang cenderung destruktif lantaran meletup-letupkan bara konflik antara adat lokal dan norma agama mayoritas masyarakat setempat. Namun, penulis tak sampai menggurui. Persoalan yang dituturkan dalam setiap cerpen lebih mengantarkan pada perenungan dalam diri pembaca.
Ketiga, peristiwa kekerasan di lingkungan warga lokal setempat juga mencakup kekerasan dalam ruang domestik atau keluarga. Dalam cerpen “Dua Ruangan dengan Seribu Ular” mengungkap isu kekerasan dalam rumah tangga. Sebagaimana umum terjadi di masyarakat Indonesia, kasus ini melukai kaum perempuan dan anak-anak. Dalam kelindan isu politis atau pertentangan dengan adat dan norma gereja, peristiwa kekerasan juga melibatkan struktur sosial lain, seperti pendidikan hingga komunitas dan pemuka agama, pemuka masyarakat, atau tetua adat.
Ketentuan adat yang diyakini turun-temurun telah memunculkan pertentangan dengan aturan yang ditetapkan lembaga gereja beserta oknumnya. Melalui cerpen “Pohon-pohon yang Dibunuh Tim Doa”, kita tersentil dan menjadi geram dengan pilihan kaum rohaniwan yang menebas pohon-pohon yang dianggap mendatangkan bencana bagi warga. Di situ tampak sekali kepongahan oknum gereja yang samasekali tidak memaklumi keyakinan warga lokal pada pohon sebagai sumber hidup, juga tempat lahir dan tinggal. Sementara mitos warga lokal itu pun seperti begitu asing dan tak masuk akal dalam pandangan ajaran Kristiani. Ini merefleksikan putusnya dialog antara tradisi atau budaya lokal dan pandangan agama.
Terhadap hal itu, dalam cerpen ini penulis menerakan kritik secara ringkas tapi cukup tegas: Kita memang akan membiarkan otak untuk malas berpikir dan cepat menyalahkan orang lain yang berbeda. Kita adalah anak-anak yang merasa paling benar dan suci murni. Setiap orang memang akan gampang menentukan seenaknya siapa dari segerombolan domba yang harusnya berperan sebagai kambing hitam. (halaman 125)
Licencia Poetica yang
Mengganggu?
Sayangnya, kumpulan cerpen Sai Rai
bertabur dengan kata-kata yang tak renyah untuk dicerap. Di beberapa bagian
tubuh cerpen terdapat paragraf-paragraf yang memerlukan parafrase. Sebab ia berbentuk
semacam bait-bait puisi. Meski penuturan secara puitik ini memberi kekhasan dan
keindahan, pada beberapa cerpen ia berpeluang mentaksakan gagasan cerita yang ingin disampaikan. Akibatnya, gagasan pokok atau pesan cerita jatuh pada keambiguan. Tak tedas.
Secara teknis, penyuntingan naskah-naskah cerpen ini saya cermati juga tidak cukup teliti. Cukup banyak ditemui kesalahan ketik beberapa kata yang mengganggu kejernihan alir pembacaan. Beberapa identitas nama tokoh tidak dituliskan dengan konsisten, alih-alih diketik berbeda-beda ejaan. Manakah yang benar: Nyora Gad’i, nyora Ga’di, atau Nyora Gadi? (“Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae”). Juga penulisan kata kawananya (seharusnya kawanannya), menca(m)puri, dan menyarankaan (menyarankan) pada halaman 81. Sementara pada halaman 18, kata ditaklukan seharusnya ditulis ditaklukkan, terggelam (tenggelam).
Begitu pun di buka (dibuka), kepala (kepada), dan ditingkah(i). Ada pula kata yang tidak baku, seperti mazbah (mezbah) dan diadang (dihadang). Dalam glosarium yang tertera di akhir salah satu cerpen pun ada ketidaksamaan penulisan lema lokal yang membuat bingung: ammu ataukah ammur? (hal. 144).
Saya menduga, selain kealpaan dalam penyuntingan, apakah kesalahan yang cukup banyak dan membuat tak nyaman saat membaca itu merupakan kesengajaan? Adakah ia wujud kebebasan penulis (licencia poetica) dalam menggubah karya sastra?
Secara keseluruhan, seikat cerpen dalam buku ini tak hanya merangkum beragam kisah dan problematika masyarakat lokal di Timor Tengah Selatan. Ia pun membangkitkan bermacam emosi pembaca dari kejadian yang dialami tokoh-tokohnya, dampak dari konflik masa lalu yang bercokol menjadi memori kolektif warga, serta tegangan antara konsep pandangan tradisional dan modern.
Melalui cerita-cerita yang otentik dan khas, Dicky Senda telah mengajak kita pula untuk mengenal lebih dalam NTT sebagai satu bagian dari Indonesia Timur. Gambaran kisah kemanusiaan yang terkoyak oleh konflik-konflik yang terjadi di dalamnya membuat kita tertegun: Di negeri ini kisah-kisah kekerasan selalu tersisip di balik kilau pesona alam dan budaya.[]
Secara teknis, penyuntingan naskah-naskah cerpen ini saya cermati juga tidak cukup teliti. Cukup banyak ditemui kesalahan ketik beberapa kata yang mengganggu kejernihan alir pembacaan. Beberapa identitas nama tokoh tidak dituliskan dengan konsisten, alih-alih diketik berbeda-beda ejaan. Manakah yang benar: Nyora Gad’i, nyora Ga’di, atau Nyora Gadi? (“Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae”). Juga penulisan kata kawananya (seharusnya kawanannya), menca(m)puri, dan menyarankaan (menyarankan) pada halaman 81. Sementara pada halaman 18, kata ditaklukan seharusnya ditulis ditaklukkan, terggelam (tenggelam).
Begitu pun di buka (dibuka), kepala (kepada), dan ditingkah(i). Ada pula kata yang tidak baku, seperti mazbah (mezbah) dan diadang (dihadang). Dalam glosarium yang tertera di akhir salah satu cerpen pun ada ketidaksamaan penulisan lema lokal yang membuat bingung: ammu ataukah ammur? (hal. 144).
Saya menduga, selain kealpaan dalam penyuntingan, apakah kesalahan yang cukup banyak dan membuat tak nyaman saat membaca itu merupakan kesengajaan? Adakah ia wujud kebebasan penulis (licencia poetica) dalam menggubah karya sastra?
Secara keseluruhan, seikat cerpen dalam buku ini tak hanya merangkum beragam kisah dan problematika masyarakat lokal di Timor Tengah Selatan. Ia pun membangkitkan bermacam emosi pembaca dari kejadian yang dialami tokoh-tokohnya, dampak dari konflik masa lalu yang bercokol menjadi memori kolektif warga, serta tegangan antara konsep pandangan tradisional dan modern.
Melalui cerita-cerita yang otentik dan khas, Dicky Senda telah mengajak kita pula untuk mengenal lebih dalam NTT sebagai satu bagian dari Indonesia Timur. Gambaran kisah kemanusiaan yang terkoyak oleh konflik-konflik yang terjadi di dalamnya membuat kita tertegun: Di negeri ini kisah-kisah kekerasan selalu tersisip di balik kilau pesona alam dan budaya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar