Kalau kita belum pernah mengetahui perihal penyakit
autisme dan tanda-tandanya, barangkali akan menjadi masalah besar bila kerabat
atau salah satu anggota keluarga kita mengalaminya. Tidak seperti sekira
sepuluh tahun belakangan, ketika penemuan medis tentang autisme sebagai
kelainan bawaan sudah dikenal luas di masyarakat. Lalu, apa jadinya jika hal
itu benar-benar dialami oleh seorang anak dengan orang tua atau keluarga
lainnya tak tahu cara mengobatinya? Anak itu akan tumbuh sampai dewasa dengan
pembawaan autis yang akut. Hal ini tercitrakan melalui akting Lukman Sardi yang
ciamik dalam Malaikat Juga Tahu.
Adalah Abang, seorang lelaki dewasa kira-kira berusia 30-an tahun mengidap
autis sehingga berperilaku laiknya anak kecil.
Bagi penonton yang masih awam dengan lima film yang
terajut dalam sebuah paket berjudul RECTOVERSO, tentu akan menikmati cerita ini
dengan kepala yang tenang. Menerima sebagai sebuah tontonan baru yang menghibur
dan membangkitkan bermacam emosi seputar “Cinta yang Tak Terucap”. Ya, dengan
pernak-pernik hubungan perasaan di antara perempuan dan laki-laki, kita
diperlihatkan pada sebuah gambaran imaji bahwa betapa rumitnya pengungkapan
perasaan antara perempuan kepada lelaki atau sebaliknya yang berakhir
terhalangnya rajutan kasih di antara keduanya.
Namun, bila menyimak kelahiran kumpulan film (omnibus) yang beranjak dari kumpulan
cerpen (kumcer) Dewi Lestari yang berjudul sama ini, akan terasa dan terpetik
kesan lebih dari sekadar film bertema cinta lawan jenis. Bagi saya yang cukup
awam dengan karya goresan kata bercerita Dee, membaca lima film ini menorehkan
pemikiran tak biasa terhadapnya. Sekumpulan cerita dalam Rectoverso (2008) yang disertai lagu-lagu berjudul sama dengan
cerpen-cerpennya lebih dahulu hadir menghidangkan sepaket keindahan kisah dan bebunyian.
Lima tahun sebelum omnibus ini rilis,
pendengaran kita dimanjakan oleh lelagu romantis dari Dee sendiri bersama
sejumlah penyanyi lain sebagai tandemnya. Bila kita juga pernah membaca tuntas sebelas
kisah pendek di situ, menyaksikan film ini merupakan pengalaman baru yang
takkan bisa ditolak: mencoba memperbandingkannya sambil membiarkan penglihatan
mencerna permainan akting aktor dan aktris di sini.
Garis besar kisah Malaikat
Juga Tahu diejawantahkan melalui gambar bergerak dengan jelas dan ringkas
oleh sutradara baru Marcella Zalianty. Cermat dan seperti sudah paham dengan
logika penceritaan di film yang bertumpu pada visualisasi, silang relasi di
antara tokoh Abang, Leia (Prisia Nasution), dan
adik Abang bernama Hans (Marcell Domits), terpapar
menjadi pokok masalah sekaligus penggerak ide cerita. Bunda sebagai ibu dari
Abang dan Hans, juga ibu kos tempat Leia menumpang tinggal menempati peran
selaku “hakim”, hendak memaksa keputusan terbaik bagi hubungan di antara mereka
bertiga.
Selain dibuat terkesan dengan akting Lukman Sardi
yang membuat miris dan mengharukan, pemeran pendukung lain telah tampil dengan
porsi yang cukup wajar. Adapun alur cerita ditata lebih baik dari yang tersaji
dalam cerpen. Ini merupakan keputusan tepat penulis skenario Ve Handojo. Berfokus
pada hubungan Leia dan Hans yang tak dikehendaki Bunda karena rasa kasihan pada
Abang, bagian sampiran kisah ini disisipkan secukupnya. Keseharian Abang
mengumpulkan pakaian kotor para penghuni kos, atau suatu hari Abang ribut
lantaran kehilangan sekotak sabun adalah sekadar situasi untuk membangun citra
karakter Abang sebagai tokoh utama.
Dari debut Marcella Zalianty selaku sutradara
memindahkan kisah cerpen ke dalam film ini, terpetik premis bahwa Malaikat Juga Tahu ialah cerita cinta
yang terhadang ikatan darah atau saudara. Leia yang akhirnya memilih
menambatkan hati pada Hans harus merelakan buah luka dialami Abang, kakak Hans
dan pria jelmaan autisme yang tak tertangani itu, yang sebelumnya telah lama
menjadi sahabatnya.
Subjudul film “Cinta yang Tak Terucap” menjadi premis
yang merangkai kelima film pendek dalam RECTOVERSO. Selain Abang yang tak mampu
mengucapkan langsung perasaannya kepada Leia karena posisinya yang inferior
sebagai penderita autis, hambatan hubungan cinta lawan jenis tercerap juga
dalam Cicak di Dinding. Adalah
seorang lelaki pelukis bernama Taja (Yama Carlos) yang
menyimpan perasaan pada Saras (Sophia Latjuba), perempuan yang ia kenal di
suatu pub dan sempat tidur seranjang
dengannya. Saras pun sebenarnya mencintai Taja. Tetapi keduanya terbungkam,
kita pun saat menonton dibuat “bungkam”, karena kemunculan sosok Irwan (Tio Pakusadewo). Irwan adalah
seorang kurator ternama yang telah menjadi rekan kerja Taja dalam waktu lama.
Mereka berdua sudah seperti sahabat baik dalam urusan pekerjaan dan pertemanan.
Di saat yang sama, ternyata Irwan adalah calon suami Saras. Mereka berdua telah
bertunangan. Namun, tak ada semacam iri hati atau dendam yang meluap dari Taja,
ia justru menghadiahi Saras dan Irwan lukisan cicak-cicak yang menyala dalam
gelap.
Lain hubungan
darah, lain persahabatan, lain pula relasi yang dimulai dari sebuah
perkumpulan. Firasat, nama perkumpulan itu, mempertemukan Panca (Dwi Sasono)
selaku ketua komunitas dan Senja (Asmirandah), seorang gadis yang memilih
memendam pikiran-pikirannya tentang satu-dua firasatnya tentang beragam hal.
Dalam Firasat yang disutradarai
Rachel Maryam ini kita diantar pada karakter perempuan pendiam bernama Senja.
Entah merasa malu mengungkapkan pertanyaan yang mengusik benaknya dalam setiap
pertemuan komunitas, Senja bahkan menahan diri untuk mengatakan firasatnya akan
keselamatan Panca yang hendak pulang ke kampung asalnya untuk menjenguk orang
tua. Meski terkesan janggal dengan menghadirkan cerita tentang bayangan masa
depan, dugaan, sampai mimpi buruk yang mengganggu tidur Senja, Firasat paling unik dari kelima film
pendek di omnibus ini. Menurut saya,
pokok ide firasat ini potensial untuk digali lebih dalam, bahkan melampaui
dasar kisah dalam cerpen Dee, semisal mengaitkannya dengan isu psikologi dan
metafisika.
Pengalihan
bentuk penceritaaan dari cerita pendek yang bersisipkan lirik dan lagu romantis
menjadi film-film pendek ialah suatu terobosan penting dalam sinema Indonesia.
Dee, melalui kecerdasan dan multibakatnya menyenggol kebanalan dan kebekuan
pikiran kita yang selama ini merasa cukup dengan kisah pendek yang tertulis
untuk dibaca saja. Dee menawarkan cara pandang baru memperlakukan rangkaian
kata nan indah—karya sastra—lewat alih wahana. Tak henti di cerpen, ia bagikan
pula nyanyian merdu-syahdu. Lalu di tangan sejumlah aktris, RECTOVERSO dapat
dilahirkan dalam rupa film yang sejiwa dengan ide yang telah terbit dan
digandrungi pembaca sastra manapun yang sudah kesengsem duluan oleh kreativitas Dee.[]
RECTOVERSO – Cinta yang Tak Terucap (2013)
MALAIKAT
JUGA TAHU: Sutradara Marcella
Zalianty | Skenario Ve Handojo | Pemeran Lukman Sardi, Dewi Irawan, Prisia
Nasution, Marcell
Domits
HANYA ISYARAT: Happy
Salma | Key Mangunsong | Amanda Soekasah, Hamis
(Harnis?) Daud, Fauzi Baadila, Rangga Djoned, Pringgadi Adiyatama
FIRASAT: Rachel
Maryam | Indra
Herlambang |
Asmirandah-Senja, Dwi Sasono-Panca, Widyawati-Ibu
CICAK DI
DINDING: Cathy Sharon | ~ | Sophia Latjuba, Yama Carlos, Tio
Pakusadewo
CURHAT
BUAT SAHABAT: Olga Lidya | Ilya Sigma dan Priesnanda Dwi
Satria | Acha Septriasa, Indra Birowo, Tetty Liz Indriaty.Sumber foto: www.dusunblog.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar