OLEH Mona Lohanda (sejarawan-peneliti, bekerja di Arsip Nasional RI)*
Sumber gambar: http://justforsoehokgie.tumblr.com/Biograph
Saya mengenal SOE HOK-GIE hanya terbatas pada ruang lingkup kelas pada semester pertama mengikuti kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada waktu itu perkuliahan dimulai pada bulan Januari, dan saya masuk tahun 1968, ketika demonstrasi sudah reda. Semua kembali ke kampus, kuliah, mengejar ilmu dan angka supaya tidak kena sanksi. Perlu diingat bahwa pada masa itu belum dikenal sistem tiga lapis pendidikan tinggi: S-1, S-2, S-3.
Mahasiswa yang tidak naik tingkat dua kali terpaksa harus drop-out, tidak akan disebut alumni tapi
cuma dianggap sebagai jebolan UI. Tidak heran jika kita mengenal si anu pernah di
Jurusan Sastra Inggris, lalu ketemu pula di Jurusan Perpustakaan atau Jurusan
Arkeologi. Pada waktu itu, mahasiswa yang tidak naik tingkat satu kali masih
boleh mengikuti kuliah, walau kebanyakan lebih suka memilih pindah jurusan.
Jurusan bahasa-sastra
asing masih dianggap lebih bergengsi daripada jurusan non-asing seperti
Arkeologi, Sejarah, Antropologi (masih di Fakultas Sastra, belum pindah ke
FISIP) atau Sastra Indonesia. Tetapi tokoh-tokoh mahasiswa malah kebanyakan berasal
dari jurusan non-asing ini. Sementara jurusan sastra-bahasa asing lebih
dimeriahkan oleh mahasiswi-mahasiswi yang pandai bergaya.
Ketika saya masuk
di Jurusan Sejarah, Soe-Hok-gie masih menjadi asisten pengajar, memberi mata
kuliah Teknik Studi. Mata kuliah ini diberikan pada semester satu untuk
mahasiswa tingkat satu. Pada masa itu belum ada kuliah bebas dengan
mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan tingkat. Maka kami kuliah dengan jadwal yang sudah tersusun dan harus diikuti sepenuhnya
tanpa kecuali. Mulanya saya tidak paham betul apa maksud mata kuliah Teknik
Studi, tetapi itu harus diikuti karena masuk dalam jadwal perkuliahan semester pertama.
Materi kuliah lebih bersifat bimbingan untuk para mahasiswa pemula agar bisa
memahami tulisan ilmiah dan juga mengenal gaya penulisan, komposisi, dan
bagaimana harus menulis sebuah karya akademik yang baik.
Tidak banyak yang
saya ingat dari materi kuliah yang diberikan Soe-Hok-gie ini. Tetapi ada
satu-dua hal yang terus melekat dalam benak saya sampai sekarang. Yang pertama,
menulis tidak perlu datar—rata macam jalan tol yang licin dan kinclong, sebab
gaya penulisan bisa sangat naratif-deskriptif, bisa persuasif, bisa pula provokatif.
Tinggal bagaimana kita menyusun organisasi dan struktur penulisan, termasuk
kalimat dan gaya bahasa yang kita gunakan. Pengetahuan ini sangat membantu
dalam pekerjaan saya di kemudian hari ketika harus sering menulis dan
menyunting serta mengoreksi tulisan-tulisan ilmiah.
Karena pada
tahun-tahun tersebut belum ada mata kuliah komposisi, maka apa yang diberikan Soe-Hok-gie
sekaligus juga merupakan bimbingan bagi mahasiswa Jurusan Sejarah dalam menyiapkan
diri untuk menulis skripsi ketika waktunya tiba. Maka sudah barang tentu soal referensi-bibliografi
juga disinggung dalam kuliah Teknik Studi ini. Dari sini saya bisa memasukkan hal
yang kedua, yaitu inspirasi dalam menemukan-mencari judul tulisan. Menurut
So-Hok-gie, judul karya ilmiah tidak selalu mesti kaku-datar dengan jargon ilmiah.
Judul itu bisa juga bernada sastra bahkan simbolis.
Hok-gie mencontohkan
karya Harry J Benda berjudul The Crescent and The Rising Sun, yang
terbit pada 1958. Dengan membaca judulnya Hok-gie menjelaskan bahwa the crescent—bulan sabit adalah simbol
Islam, sementara the rising sun—matahari
terbit diartikan sebagai negeri Jepang. Dari sini akan mudah bagi mahasiswa memahami
sub-judul disertasi HJ Benda tersebut, yaitu Indonesian Islam under the Japanese occupation, 1942 –1945. HJ
Benda adalah Indonesianis dari Universitas Yale yang juga memimbing Ong Hok Ham
menyelesaikan disertasinya.
Saya menduga boleh jadi
Harry J Benda menjadi perintis penggunaan judul karya akademik yang bernada
sastra ini. Sebab, sampai sekarang kecenderungan sejawaran Amerika, Australia,
dan juga Belanda untuk memberi judul yang bernada simbolik-puitis pada
karya-karya akademik mereka, masih terus
berlangsung, walau kecenderungan yang paling umum adalah dengan memakai kata-judul
kunci yang merefleksikan tema pokok dan topik bahasan karya masing-masing.
Hok-gie rupanya
juga mengikuti gaya Harry J Benda ini ketika dia menyebut tulisan yang menggambarkan
aktivitas dan ide politik kaum sosialis dan komunis pada masa perang
kemerdekaan dengan klimaks pada peristiwa Madiun September 1948. Tulisan itu
berjudul Simpang Kiri Sebuah Jalan.
Saya tanya, judul buku apa itu? Jawabnya, “Itu judul skripsi gue.” Soal bahasan
skripsi ini akan saya uraikan di bagian lain.
Satu hal lain adalah
“pesan-peringatan” Soe-Hok-gie kepada kami mahasiswa yang masih hijau dan masih
diliputi kabut demam sok aksi. Katanya sesuatu tidak bisa dilihat dan
ditengarai secara hitam-putih. Selalu ada ruang abu-abu dalam kenyataan sejarah,
sehingga kita tidak bisa berpendapat yang ini benar yang lain salah. Selalu ada
kemungkinan untuk melihat fakta peristiwa sejarah dari sudut pandang yang beragam
dan berbeda. Ini memang bagian pemahaman metodologis yang harus dipegang oleh
sejarawan.
Pada akhir kuliah Teknik
Studi, mahasiswa diwajibkan menulis makalah dengan tema menurut pilihan
sendiri. Karena belum banyak memiliki pengetahuan kesejarahan yang cukup, saya
menulis tentang Ismail Marzuki, komponis yang banyak melahirkan karya-karya berlatar
belakang perang kemerdekaan. Sebetulnya saya baru meraba-raba dan menafsirkan
sendiri, dengan keterbatasan seorang mahasiswa semester pertama. Pengetahuan saya
tentang Ismail Marzuki ini lebih didasari atas pengalaman sebagai anggota
paduan suara di SMA yang banyak mempelajari karya-karya komponis yang orang
Betawi ini. Untung saja, Soe-Hok-gie menganggap topik Ismail Marzuki ini menarik
karena dia ternyata peminat karya-karya sastra dan musik.
Berniat
bikin klub buku
Dari sini saya lalu bisa melangkah ke perkenalan intelektual di
luar kelas, tetapi tetap dalam konteks kampus. Suatu kali Soe-Hok-gie mengundang
saya untuk ikut diskusi buku di suatu hari Sabtu. “Kita ngobrol aja dulu,”
katanya. Saya tidak ingat berapa orang yang datang. Yang jelas, Hok-gie berniat
membuka klub buku yang setiap bulan akan membahas satu buku, dan diharapkan
menarik peminat. Jadi, tidak hanya naik gunung yang banyak mendapat peminat dan
penggemar.
Buku
pertama yang akan dibahas bersama adalah karya Toha Mochtar, Pulang. Kebetulan saya sudah membaca buku
ini semasa di SMA dan juga karyanya yang lain yang berjudul Daerah Tak Bertuan. Toha Mochtar adalah
penulis yang banyak berkisah tentang suasana perang dan gejolak kemanusiaan di
dalamnya. Novel Pulang berkisah tentang
seorang heiho (pemuda Indonesia yang
menjadi anggota pasukan tambahan tentara Jepang), yang setelah bertugas di
Burma berhasil kembali pulang ke kampung halamannya. Bagaimana pengalaman
kembali ke tanah air dalam suasana perang kemerdekaan setelah kekalahan Jepang
menjadi plot cerita.
Novel Daerah Tak Bertuan menceritakan suasana
daerah perbatasan antara wilayah pendudukan Belanda/NICA dan daerah Republik
yang dikuasai gerilyawan, dan bagaimana tokoh cerita yang menjadi komandan
pasukan harus menghadapi berbagai ekses akibat perbenturan di dalam suasana chaos peperangan. Sekarang saya baru
menyadari kenapa Hok-gie memulai diskusi buku dengan novel Toha Mochtar.
Ketertarikannya pada hal-hal kemanusiaan, suasana perang dan suasana batin yang
sering berbenturan, boleh jadi mencerminkan suasana batin seorang Soe Hok-gie
yang gelisah dan galau melihat kehidupan sehari-hari, dekadensi pada masa akhir
kekuasaan Soekarno.
Sayangnya, niat mendirikan
klub buku itu tidak jalan, dan itu sudah terlihat sejak awal. Hari pertama
diskusi tidak ada yang hadir. Saya jadi bengong sendirian, dan karena sesudah satu
setengah jam menunggu tidak ada yang nongol di ruang pertemuan di lantai atas gedung
I di Rawamangun, Hok-gie membubarkan acara sebelum dimulai. Saya tidak tahu
apakah Hok-gie kecewa, atau mestinya dia menyadari bahwa untuk diskusi serius
tidak banyak mahasiswa yang tertarik, sekalipun moto anak-anak Sastra UI adalah
buku, pesta, dan cinta. Boleh jadi mereka lebih tertarik pada moto yang
dibalik: pesta dan cinta. Kalau buku? Kapan-kapan saja, bila sempat.
Anehnya, ketika
Hok-gie juga memperkenalkan kine klub malah lebih bisa berlangsung lama. Saya
ingat, tidak hanya secara rutin kita menonton “art movies” itu di gedung teater
Sastra UI di Rawamangun, tetapi kita juga mengembara ke berbagai kedutaan besar
di Jakarta hanya untuk menonton film-film produksi negara bersangkutan. Rupanya
kalau menonton film semua orang suka, tetapi mendiskusikan buku kalau tidak
sempat atau tiada minat untuk membaca buku tersebut, buat apa. Seingat saya,
sesudah pemutaran film tidak ada diskusi serius tentang film yang dibahas.
Pernah satu kali, tapi karena hanya Soe Hok-gie yang berbicara jadi tidak
serulah.
Walau Soe Hok-gie sudah
tiada di bulan Desember 1969, saya pribadi masih meneruskan minat terhadap kine
klub sampai tahun 1980-an di Taman Ismail Marzuki. Ketika tugas belajar di New
York 1976–1977, saya juga ikut kine klub The Thousand Eyes yang punya gedung
bioskop sendiri di Bleecker Street, di daerah Greenwich Village, di selatan Manhattan.
Sekarang saya juga bertanya
kepada diri sendiri, kenapa saya semasa di SMA tidak pernah membaca tulisan-tulisan
kolom Soe Hok-gie? Barangkali saya belum berminat pada masalah politik dan
urusan sosial, karena lebih tertarik membaca cerita pendek asing terjemahan yang
sering dimuat pada hari Sabtu di koran Sinar
Harapan. Seingat saya, ada beberapa kali saya membaca tulisan Soe Hok-gie yang
berkisah tentang kunjungannya di berbagai kampus di Amerika Serikat. Tetapi
terus terang, saya tidak tertarik pada kolom yang ditulis Soe Hok-gie itu.
Favorit saya waktu itu adalah kolom tentang kehidupan kampus di Amerika Serikat
yang ditulis oleh wartawan Yozar Anwar dan dimuat lebih dulu di Sinar Harapan.
Hok-gie
menyelesaikan skripsi dan ujian sarjana sejarahnya pada 12 Mei 1969, dan
beberapa bulan kemudian ia menghadap Sang Khalik di Gunung Semeru. Aneh pula
bahwa tidak pernah terpikir oleh saya untuk membaca skripsinya itu. Mungkin
karena konsentrasi studi saya yang lebih kepada sejarah kaum minoritas di bawah
pemerintah kolonial, sehingga tema-tema yang kontemporer tidaklah segera membuat
saya tertarik untuk dengan segera mengamati periode ini.
Tetapi untuk penulisan artikel ini saya harus menyimak dengan
serius skripsi Soe Hok-gie, mengingat ini mungkin satu-satunya karya akademik yang
ditulisnya sebagai seorang sejarawan. Juga karena Hok-gie lebih banyak menulis
kolom-artikel dalam surat kabar dan majalah, maka ia lebih dikenal sebagai
seorang kolumnis yang tajam, cerdas tetapi juga lugas.
Sumber gambar: http://gemalaputri.blogspot.com/2013/07/perjalanan-orang-orang-kiri.html
Skripsinya
jadi buku
Skripsi Soe Hok-gie yang berjudul Simpang Kiri dari sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September
1948 menguraikan situasi politik menjelang pecahnya peristiwa Madiun September
1948; sebuah tema yang memerlukan keberanian untuk menuliskannya, mengingat
skripsi itu diselesaikan pada pertengahan April dan diuji pada 12 Mei 1969,
dengan hasil “menyenangkan”. Tema bahasan itu dengan berani diangkat oleh Soe Hok-gie
ketika suasana pergantian rezim Soekarno ke Soeharto masih sangat kental;
ketika topik tentang gerakan dan aliran sosialis-komunis yang diterjemahkan
sebagai paham kiri dimunculkan di tengah suasana ‘anti’ segala yang berbau kiri
dan komunis. Soe Hok-gie seperti Mohammad Hatta, Soebadio Sastrosatomo, Sumitro
Djojohadikusumo, Semaun, dan beberapa lainnya adalah para pelaku (actor) yang sekaligus juga saksi sejarah
(eyewitness).
Dengan
judul yang dibuat bernada alegoris, struktur dan organisasi penulisan yang dibuat
oleh Soe Hok-gie juga berbeda dari kebanyakan karya akademik dalam bidang
sejarah. Dimulai dengan tata-letak panggung sejarah (historical setting) yang menggambarkan situasi ideologis-organisasi
partai-partai kiri (bab I sampai bab V), Hok-gie membangun klimaks cerita pada bab
VI. Dengan diberi judul “Awal dan Akhirnya”. Konsentrasi pada peristiwa Madiun September
1948 itu diuraikan secara runtut. Di sini Hok-gie berhasil menggunakan uraian
historis yang sangat pas bagi ‘proses sejarah sebagai peristiwa’ yang oleh Fernand
Braudel, sejarawan Prancis, sebut sebagai pendekatan evenement.
Tetapi
saya juga “terpengaruh” oleh komentar almarhum Prof Harsya W. Bachtiar yang
menaruh perhatian besar pada uraian tema sosial dengan pendekatan sejarah. Disertasi
beliau, The Formation of the Indonesian Nation
(Harvard University, 1972), berpegang pada perspektif sejarah yang sangat
kental dalam latar belakang politik masa kolonial. Dalam suatu pertemuan di
kantor beliau semasa menjadi Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, beliau berpendapat bahwa Soe Hok-gie itu seorang kolumnis
yang baik, tetapi tidak sebagai sejarawan. Pendapat ini, baru saya ketahui
kemudian, telah beliau ungkapkan dalam Kata Pengantar buku Soe Hok-gie, Catatan Seorang Pemuda Indonesia yang
diterbitkan oleh Yayasan Mandalawangi tahun 1972.
“Soe Hok-gie
tidak dapat dikatakan seorang sarjana dalam arti sempit, karena ia kurang sabar
dalam mempelajari persoalan-persoalan sejarah secara teratur dan teliti. Memang
benar ia berhasil menyelesaikan studinya, sehingga mendapat ijazah Sarjana
Sastra dari universitasnya, Universitas Indonesia, tapi ia tak dapat dianggap
seorang ahli sejarah yang baik.”
Maka
ketika membaca skripsi Soe Hok-gie saya lalu mencoba mencatat apakah memang
betul bahwa Hok-gie itu kurang teliti. Kesimpulan yang saya dapat ternyata
sama. Terutama karena Hok-gie tidak mau bersusah-payah menjelaskan latar
belakang—sekalipun singkat—tentang apa yang menjadi pokok bahasan dalam setiap
alinea yang dia tulis. Misalnya, ketika Muso datang kembali ke Indonesia tahun
1935 dan membentuk kelompok PKI Muda, atau PKI angkatan ’35, dia tidak merasa
perlu untuk menjelaskan bahwa kelompok ini selanjutnya akan ditulis PKI 1935;
atau ketika grup yang berasal dari Boven Digul kemudian ikut diungsikan ke
Australia dan mereka membentuk Sarekat Indonesia Baru yang kemudian dikenal
sebagai PKI SIBAR. Sama halnya ketika ia menulis tentang kelompok yang
dipengaruhi oleh grup Van der Plas.
Bahkan dia
tidak merasa perlu menjelaskan siapa itu Charles van der Plas, perwira
intelijen Belanda yang giat bergerak mempengaruhi aktivis muda Indonesia sejak
zaman pendudukan Jepang, dan pada periode 1946–1949 menjadi orang kepercayaan
Gubernur Jenderal HJ van Mook. Charles van der Plas juga memegang peranan
penting dalam pembentukan negara-negara federal (Bijeenkomst voor Federal Overleg) di tahun 1946, sementara Republik
Indonesia harus mencurahkan segenap kekuatan untuk menghadapi peperangan dengan
Belanda.
Soe Hok-gie
juga tidak mau berpayah-payah mencantumkan tanggal-tahun secara lengkap dalam
uraiannya, padahal ini merupakan hukum wajib bagi tulisan sejarah, mengingat
sejarah bergerak dalam dimensi ruang dan waktu. Masih banyak lagi bagian-bagian
dari skripsinya yang terlihat kurang lengkap, kurang rinci, sehingga membaca skripsi
tersebut terasa ada “lubang-lubang” yang semestinya tidak muncul. Tetapi
tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengupas hal tersebut menjadi ulasan buku.
Hal lain
lagi adalah ekspresi dan gaya bahasa. Hok-gie terlihat banyak dipengaruhi oleh
kebiasaan menulis kolom di surat kabar dan majalah. Kalimat yang singkat dan
pendek, melompat-lompat, seringkali tidak cukup untuk menjelaskan suatu konsep
atau analisis. Belum lagi struktur bahasa yang tidak bisa menyembunyikan latar
belakang budayanya sebagai warga Cina peranakan. Sebagaimana diketahui, komunitas
peranakan menumbuhkan gaya bahasa Melayu-Pasar yang sudah terlebih dahulu hidup
berkembang, di masyarakat sebelum Bahasa Indonesia modern muncul di tahun
1920-an.
Maka
tidak heran pula jika Hok-gie banyak sekali menggunakan kata-kata asing yang
tidak perlu, banyak memakai tanda petik “…”, juga menulis dalam tanda kurung
yang sebetulnya dapat digabungkan dalam kalimat, dan memberi komentar dalam tanda
kurung yang sebetulnya pantang dilakukan dalam sebuah karya akademik di bidang
sejarah. Repotnya lagi, terlalu banyak digunakan kata daripada, daripada,
daripada… yang seharusnya ditulis dari, bahkan bisa dihilangkan karena tidak
perlu.
Ketika
mengetahui bahwa skripsi ini juga diterbitkan, mau tidak mau saya juga terpaksa
harus membandingkan antara teks ketikan dan teks yang diterbitkan. Dengan judul
Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan,
dicetak pertama kali pada Juli 1997 dan cetakan kedua Juni 2005, buku ini ternyata
juga membuat kesalahan dan kekeliruan yang sama sekali tidak mampu mengangkat nilai
skripsi Soe Hok-gie.
Tambahan judul itu
menurut saya salah menafsirkan pokok bahasan skripsi Soe Hok-gie, karena
Hok-gie tidak melulu berbicara tentang orang-orang yang beraliran kiri. Skripsi
itu sebenarnya lebih banyak menekankan pada pergumulan gagasan dan pemikiran
tentang kemerdekaan yang baru diperoleh, tentang persaingan dan kejatuhan partai
politik akibat dari pergulatan untuk memperoleh kekuasaan, tentang perdebatan
mengenai strategi untuk menghadapi Belanda, dan persoalan sosial-politik yang
mencapai puncak pada peristiwa Madiun 1948.
Itu pula sebabnya bab
terakhir diberi judul Awal dan Akhirnya.
Semestinya judul asli skripsi Soe Hok-gie itu dipertahankan, begitu juga dengan
beberapa sub-judul yang diubah, padahal itu tidak perlu. Seperti misalnya, sub-judul
dalam Bab IV: “Pertumbuhan Organisasi-Organisasi Komunis” yang dalam cetakan pertama
dituliskan “Lampu Aladin yang Bermukjizat”, dan dalam cetakan kedua dituliskan “Mukjizat
Lampu Aladin”. Soe Hok-gie sangat pandai membuat judul karangan memikat yang
cepat menarik perhatian pembacanya. Jadi, penggantian sub-judul itu malah
mubazir.
Yang justru paling
menyakitkan adalah penyuntingan dalam buku Orang-Orang
di Persimpangan Kiri Jalan, baik pada cetakan pertama (Juli 1997) maupun
cetakan kedua (Juni 2005). Ketika saya simak lebih lanjut, penyuntingan hanya
pada penggantian ejaan dan menghilangkan atau mengganti kata daripada-daripada,
kadang ada pula sisipan kata di sana-sini. Tetapi materi yang semestinya ditambah
atau diisi dibiarkan, bahkan kesalahan istilah yang digunakan Hok-gie seperti
‘perang kolonial I’, semestinya ‘Agresi Militer I Juli 1947’, tetap ada
(cetakan pertama, hal. 124; cetakan kedua, hal. 126).
Paling fatal adalah
istilah kesejarahan yang tidak diperbaiki, karena kemungkinan besar hanya salah
ketik dan Hok-gie tidak cukup telaten untuk memperbaikinya. Contohnya, ‘putsch’.
Kata yang berasal dari bahasa Jerman untuk menunjukkan “an attempt at political
revolution; a violent uprising” (Oxford English Reference Dictionary, edisi
revisi, 2003), yang lebih populer diartikan sebagai kudeta, tetapi dituliskan putch (cetakan pertama, hal. 60, 75,
cetakan kedua, hal. 62, 64, 78). Apa arti kata putch itu tidak saya temukan di kamus bahasa Inggris, bahasa
Jerman, ataupun bahasa Belanda.
Entah kenapa, Hok-gie
gemar sekali menggunakan ekspresi ataupun kata-kata asing yang seringkali juga
salah kaprah dan salah tempat. Contohnya, ketika membicarakan soal rasionalisasi
di lingkungan TNI tahun 1948 Hok-gie menuliskan perwira cadangan (opsir reserve),
kalau dalam bahasa Belanda semestinya ditulis reserve officer. Ini juga tidak diperbaiki oleh penyunting buku (cetakan
pertama, hal. 194, 196; cetakan kedua, hal. 199, 201). Satu lagi, ekspresi yang
dimaksudkan untuk ‘menyelamatkan muka’ atau sering disebut ‘agar tidak
kehilangan muka’, pada bagian tentang perubahan yang terjadi dalam gerakan
sayap kiri, Hok-gie menuliskan “saving face”, yang semestinya adalah cara ‘face-saving’
agar yang bersangkutan tidak kehilangan reputasi dan kredibilitasnya (Oxford
English Reference Dictionary, 2003).
Penyunting buku
juga tidak mau berpayah-payah untuk memeriksa apakah ekspresi itu sudah betul
penulisannya, jadi, ya, tetap saja saving
face (cetakan pertama, hal. 171, 173, 205; cetakan kedua, hal. 175, 178, 211).
Ada terlalu banyak kesalahan yang cukup fatal akibat keteledoran (atau
kemalasan?) penyunting buku penerbitan skripsi Soe Hok-gie ini. Walau rasanya
tidak perlu berpanjang-panjang membongkar kesalahan-kesalahan tersebut, masih
ada satu hal yang perlu saya ungkapkan di sini. Penulisan kata ‘front’ yang
diubah menjadi “fron”, baik dalam isi naskah dan terutama pada Daftar Isi,
yaitu pada bab V sub-judul “Pemerintah fron (sic!) Nasional di Madiun”, pada
cetakan pertama maupun cetakan kedua.
Front Nasional
adalah nama diri, nama gerakan, yang pada tahun 1960-an malah menjadi suatu organisasi
besar yang berkantor di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Front artinya garis depan, medan pertempuran, dan yang tepat dalam
konteks ini adalah gerakan kesatuan atau gerakan bersama untuk mencapai suatu
tujuan politik atau idelogi. Sementara kata “fron” yang digunakan dalam buku
tersebut adalah istilah dalam bidang meteorologi, yang artinya permukaan
pemisah antara dua macam massa udara (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, 2005). Paling akhir, dalam Daftar Isi
cetakan kedua tahun 2005, tertera “Bab Lima: Mimpi-mimpi Indah yang telah
berakhir” dan di bawahnya ditulis kembali “Bab Lima: Awal dan Akhirnya”, yang
seharusnya adalah Bab VI. Bukan main kerja penyunting buku ini!
Hok-gie sudah pergi
sejak 40 tahun yang lalu. John Maxwell menulis disertasi tentang dirinya, Soe Hok-gie: A Biography of Young Indonesian
Intellectual (Australian National University, 1997). Versi bahasa Indonesianya
diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, Soe
Hok-gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani (2001). Buku hariannya,
Catatan Seorang Demonstran yang
diterbitkan dengan penyuntingan oleh LP3ES telah mencapai cetakan ke-7 (tahun
2005). Beberapa tahun yang lalu film tentang dirinya diproduksi, GIE (Miles Production, 2005) dan dipuji
banyak orang. Maka jadilah Hok-gie sebuah ikon gerakan mahasiswa, ikon orang
muda. Dia menjadi terlalu populer, nyaris menjadi idola tanpa cacat.
Bisa dibayangkan,
kalau saja sampai hari ini dia masih berada di tengah-tengah kita, boleh jadi
Hok-gie menjadi seorang selebriti. Akankah dia tergiur dengan ketenaran, ataukah
dia akan tetap kritis terhadap situasi politik hari ini, terharu menyaksikan
banyak warga yang masih didera kemiskinan, nyaris melarat, menganggur, sementara
gedung pencakar langit bertebaran di mana-mana. Tetapi saya tidak tahu apakah dia
akan lebih memilih menjadi seorang kolumnis yang tajam, meledak-ledak, ataukah dia
akan tercatat sebagai seorang sejarawan yang piawai dalam merangkum-menuliskan fakta
sejarah menjadi sebuah ‘thriller’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar