Jumat, 30 Mei 2014

Pesan yang Tertunda



Pada dasarnya, setiap kita ingin bersama. Ada kala kita terpisah sendiri-sendiri dalam tempat berbeda. Kala lain bertemu hanya bersapa menyebutkan nama. Lalu lupa. Bisa pula menghadirkan luka. Siapa yang tahu jelasnya apa. Sebab kita begini adanya: bertemu, bersama, kemudian bersama-sama setuju untuk bersendiri dalam diam. Ya, diam-diam menyepakati untuk diam menyendiri dengan dunia masing-masing. Aku dan kau melupakan. Kau tak tahu apa aku lalu. Perlukah aku begitu pula padamu. Lalu menutup diri, hingga nanti. Nanti, kapankah itu? Esok.

Esok adalah bukan sehari kemudian, semacam janji yang bisa tak tertepati lantaran Pak Pos pengantar surat yang mundur sehari lalu sehari lagi kemudian menyampaikan. Pesan yang tertunda, kabar yang enggan cepat sampai, lagu yang sedu berlalu diredam waktu lalu.

Aku tak mau jika kau begitu, tapi kau berkata, “Itu mulanya dari kamu sendiri!”

Aku termangu beku. “Lho apa yang kau maksud… Aku bingung.” Diam, mencari kekhilafan-kenaifan-kealpaan yang dibungkus oleh kebaikan-kebaikan kenangan baik.

Baik katamu, alaaaaah, apanya yang baik?

Kita takkan pernah tahu: apakah maksud kebaikan yang kita bagikan kepada seorang yang kita anggap baik akan tetap tinggal atau tidak. Kau menyederhanakan sekali mempersamakannya dengan senyuman yang kecil yang kata Teresa sepi tapi takkan terlupa. Besarnya kasih dalam segelintir aksi mengalahkan banyaknya perbuatan baik.

Akhirnya aku keluar dari pengertian usang: pemujaan itu sendiri adalah sesat! Termasuk bila kulakukan padamu, manis, yang kutahu itu cuma mengangkat lalu menggeletakkan kita saja!

“Kita? Elu aja kali…!” Kau mencerocos.

“Iya, kamu…” kutimpal bertutur menirukan Dodit si komedian tunggal.

“Maksudmu apa?”

Aku menyimpan rasa tapi kau belum tahu, mungkin nanti saja seiring waktu. Bermain rahasia-rahasiaan ceritanya. Biar agak gimana gitu, misteriuslah.

“Heh, apaan sih?!” Jelek monyong dower bibirmu kembali menonjol ke muka.

“Maksudku, sesaat aku memujimu, aku pikir sebenarnya indahmu biasa saja, tak seberapa dibanding perempuan yang kukenal lainnya. Kamu kayak gorila.”

“Huuuh, jelek!” kau mulai mengambek.

“Ciee, kayak kambing lu, habis ngambek terus ngembik.”

Pipimu mencekung, kau merengut.

“Hahahaha!” aku tertawa mengendorkan ketegangan, meski kutahu ini belum lepas dari tegang.

Kau, kulihat dengan pinggir mataku, menangkapi jebakanku. Gurauan-rayuan-atau apalah namanya yang kuluncurkan. Cur….

“Hehehe, kamu tu mulai deh….”

Kita tertawa bersama, sesaat lalu senyum. Lepas, terlepas dari kekangan yang memaksa diri kita sebelumnya bersitegang yang bagiku, sungguh apa perlunya?!

Belum, belum bertemu kan kita?

Iya, kira-kira bisikmu bertengger perlahan di daun telinga kananku.

“Kita merindu.”

“Tapi tinggal tunggu waktu, kita akan bertemu.”



Pagi, Rabu, 28 Mei 2014. Ditutup dengan lantunan rada fals temen band gue yang boleh dinilai “cukup”. Kepada Suatu Pesona judul lagunya. Pukul 07.45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar