Buku-buku baik menjadi berkesan karena menemui momentumnya, atau dibaca oleh seseorang pada waktu yang tepat. Ia berkesan dan bermanfaat ketika pembacanya merasa sedang membutuhkan sesuatu, baik itu petunjuk atau saran, informasi aktual, hingga pelepasan dari kejenuhan (yang tak sebatas jenuh secara psikis) atau fungsi rekreasi.
Pada 2021, saya menemui setidaknya 9 bacaan favorit. Ada beberapa buku lain,
termasuk yang saya akses lewat platform membaca daring atau laman. Kali ini
saya uraikan pengalaman dan penilaian saya atas 9 buku cetak yang mengesankan
bagi saya. Buku-buku ini sebagian besar terbitan lama, tapi baru saya baca di
tahun bershio kerbau logam lalu.
Salah satu lakon teater yang ditulis dengan cara tidak biasa. Di antara
begitu banyak naskah drama Indonesia, ada beragam teknik penyajian yang dipakai
untuk menyampaikan cerita dan gagasan. Ada yang berkutat pada keutuhan gambaran
tokoh-tokoh dan pergulatannya, atau bahkan hanya menggambarkan suasana demi
suasana hingga meniadakan kejelasan sosok tokoh.
Janger Merah tidak. Penulisnya, Mas Ibed, menuturkan gagasan, cerita, dan
proses penyusunan lakon ini menggunakan sudut pandang orang kedua. Dengan
sapaan kepada pembaca: “Kau…”, “…-mu”, kita akan dibuat serta-merta larut dalam
sebuah percakapan dengan penulis.
Pengisahan lakon Janger Merah bermuara pada perihal stigma penari janger sebagai
simpatisan PKI di masa 1960-an. Alih-alih tak nyaman untuk “diasingkan” ke
dalam sebuah cerita, saat membaca buku ini kamu—iya, kamu—akan asyik larut menjadi
pendengar dan penonton. Ya, kita akan menjadi tak sebatas hanya pembaca. Penulis
seakan memberi ruang kebebasan dan imajinasi kepada pembaca untuk turut menjadi
semacam “sutradara sebuah pementasan teater”.
Keunikan lain buku ini menawarkan cara penulisan naskah drama yang ringkas
tapi juga inovatif. Berbeda dengan naskah lakon-lakon pada umumnya yang ketat membedakan
teks petunjuk pemanggungan (nebentext) dari cerita serta dialog-dialog (hauptext),
Ibed S. Yuga menyajikan nebentext secara hemat. Sejauh kesan saya, pilihan-pilihan
Ibed itu dilakukannya dengan cermat: bahwa ada dialog-dialog yang sudah kuat
emosinya sehingga tak perlu ditambahi nebentext, sementara pembaca juga dipersilakan
membangun imajinasi peristiwa (adegan-adegan) lain di benaknya masing-masing.
Sebagai sebuah lakon yang ditulis untuk tujuan dapat segera dipentaskan,
Janger Merah hadir sebagai bacaan yang terasa komplit. Ia seru dan nikmat
dibaca sebagai sastra, sekaligus langsung dapat dibayangkan dan tergambar di
benak pembaca sebagai sebuah pertunjukan drama.
Sepiring Moci & Marshmallow (Penerbit Rehal, 2020)
Di akhir 2020 saya mulai menggenggam buku ini dengan sebuah janji dari
penerbitnya: “Dibaca sehari selesai.” Saya membacanya pada Januari, selesai
sekitar 2 hari (karena membacanya di sela-sela beraktivitas yang lain).
Ini merupakan buku cerita berdasarkan pengalaman sehari-hari penulisnya, seorang
guru taman kanak-kanak bagi siswa berkebutuhan khusus (autisme/ADHD/ disleksia).
Bagi kamu yang sudah pernah menonton film “Taare Zameen Par” (diperankan oleh Aamir
Khan), kira-kira ada sebagian irisan pengisahan tentang guru yang cukup sabar. Namun,
buku ini lebih menyajikan keceriaan, kelucuan, dan sejumput kekonyolan. Buku
ini unik karena disajikan berteknik penulisan dengan sebagian berupa
percakapan layaknya skenario: antara guru dan murid, antarmurid, antarguru,
juga murid dengan benda-benda di sekitarnya.
Hanya ada satu Gunawan Maryanto. Hanya ada seorang Gunawan Maryanto yang mengenal
jenis-jenis burung perkutut dari kegemaran ayahnya “bermain” dengan burung merdu
itu. Hanya Mas Cindhil seorang yang dengan kepekaannya menangkap isu aktual dan
memerangkapnya untuk diolah sejalin (atau tak sekelindan dengan) ciri-ciri
setiap burung perkutut ke dalam puisi-puisi.
Beberapa penuturan dalam puisi-puisi di buku ini merupakan bagian dari kisah
pewayangan dan berbahasa Jawa. Tapi kamu tak bakal sampai bingung memahaminya
karena puisi Mas Cindhil—begitu ia biasa disapa—di sini cenderung membubung di
ruang rasa.
Penulis mempersembahkan buku lama ini (pertama kali terbit 2010) untuk
mengenang ayahandanya yang mendahuluinya pergi pada Agustus 2017. Sejumlah Perkutut
buat Bapak dikemas dan diterbitkan kembali dengan desain sampul baru. Tentu
Mas Cindhil, begitu aku menyapanya, sudah berbahagia kembali bersama sang bapak
di tempat istirahat sisi-Nya yang terbaik.
Salah satu buku yang sejak lama ingin saya baca, tapi baru kesampaian saat mengikuti kelas Jurnalisme Narasi oleh Yayasan Pantau. Selain kisah tentang penyanyi Frank Sinatra—yang dijumpai oleh Gay Talese sedang sakit pilek, ada pula rekaman petinju legendaris Muhammad Ali di masa tuanya.
Ali dan Frank sama-sama digambarkan
menampilkan keutuhan diri selaku manusia: di balik kementerengan pamor dan
prestasi, mereka punya sisi lemah.
Buku ini saya dapatkan sebagai hadiah setelah saya menampilkan pembacaan salah
satu puisi karangan Salman Aristo, penulisnya. Mas Aristo menuliskan sajak-sajak
yang dihasilkannya sebagai kesan seusai menonton beberapa film. Sebuah proses yang
menarik dan menjanjikan ketegangan antara asa, keluhan, dan kesan lain sesudah
layar bioskop ditutup atau saat teks credit title bergulir.
Buku kecil ini enteng banget buat diselipkan di tas pinggang, seenteng saya
membaca sebagian besar sajak yang ditulis ringkas. Beberapa film yang menjadi
rujukan atau titik berangkat penulisan sajak ialah, “Perempuan Tanah Jahanam”, “Hiruk-Pikuk
Si Alkisah (The Science of Fictions)”, “Taxi Driver”, dan “La La Land”.
Kisah-Kisah Empat Negara (Pustaka Jaya, 1982)
Tahun 2021 merupakan kali pertama saya membaca karya “sastra Arab” ini. Berisikan
cerpen dari empat negara: Suria, Irak, Libanon, dan Palestina. Dalam buku tipis
dan mungil ini, sebagian besar memuat cerpen bersuasana haru: tentang anak yang
terhanyut oleh gulungan air bah sehingga berpisah dengan sang ayah, atau juga kemiskinan
yang menyempil dalam persahabatan dua lelaki dewasa.
Membaca buku ini membutuhkan kesabaran karena tak jarang menyita emosi
sedih, tetapi membuat kita empati kepada nasib yang dialami para tokohnya.
Ali Audah adalah satu dari sedikit penerjemah sastra berbahasa Arab yang produktif berkarya. Selain Kisah-Kisah Empat Negara (1982), lelaki kelahiran Bondowoso itu juga menerjemahkan buku Lereng Bukit: Sebuah Kisah dari Palestina (1960), Genta Daerah Wadi (1967), dan Sejarah Hidup Muhammad (1972).
Tak Hanya Diam (Tollelegi, 2011)
Cukup lama saya tak membaca buku renungan karangan biarawan/wati. Suatu kali
menemukan unggahan foto seorang penggemar grup musik Padi di Instagram, saya mencari
buku ini di toko daring. Baru pada akhir November 2021 saya memesannya, dan
membacanya saat di perjalanan kereta rel listrik Jabodetabek.
Pastor penulis buku ini menghimpun sejumlah renungannya yang melintasi sejumlah
isu: politik parlemen yang abai kepentingan wong cilik, persiapan pribadi di
masa menyambut hari raya Natal, gambaran imaji Maria sebagai “mahadewi”, hingga
nilai kemanusiaan yang mesti dihidupi oleh komunitas orang beriman.
Beberapa bab ditulis dengan mencuplik judul lagu-lagu grup musik favorit
saya, Padi. Di antaranya ialah “Save My Soul”, “Sobat”, “Tak Hanya Diam”, dan “Mahadewi”.
Kemungkinan besar pastur penulisnya adalah Sobat Padi juga. Dalam salah satu bab,
dia menyebutkan bahwa Padi bukanlah sebuah kumpulan orang sembarangan,
melainkan seniman berkualitas tinggi.
How to Respect Myself; Seni Menghargai Diri Sendiri (Transmedia Pustaka,
2021, edisi terjemahan, cetakan kedua)
Tergiur dengan embel-embel “best seller di Korea Selatan”, saya menandai
buku ini sebagai calon komoditas yang akan saya beli di toko daring. Pengalaman
berkesan selanjutnya, saya malah mendapati cetakan buku ini amat buruk: jenis kertas
semacam kertas buram, cetakan huruf seperti hasil fotokopian, dan sampul muka amat
tipis. Ah, sial, buku bajakan.
Saya menyesal, tetapi tetap jua saya baca. Menjelang akhir tahun lalu,
saya membaca buku ini dan menemukan sejumlah trik yang dapat langsung
diterapkan untuk mengenali dan memperbaiki kelemahan diri. Beberapa hal di
antaranya, tentang mengelola dinamika emosi hangat dan emosi dingin, juga saran
praktis untuk melawan rasa malas atau keluar dari kebiasaan buruk.
Mudah dibaca, gampang diterapkan. Saya kira saya akan lebih berterima
kasih kepada penulis dan penerjemah buku ini bila saja saya membeli buku asli
dari penerbit pionirnya.
Judul ini adalah buku terakhir yang saya beli secara tatap muka pada 2021.
Saya membelinya di usaha penerbitan independen milik Mas Indrian Koto di
Yogyakarta, November lalu.
Menyedihkan tapi juga kesal mengetahui bahwa sosok Tan Malaka masih dipolitisasi
oleh sejumlah kalangan hingga di era pemerintahan Presiden Jokowi. Bahkan upaya
menutupi kelayakan Tan Malaka untuk dianugerahi gelar pahlawan itu menyusup
hingga ke produk budaya berupa film layar lebar.
Biang keroknya ialah stigma aktivis komunisme atau gerakan Partai Komunis
Indonesia yang telanjur dilekatkan pada diri Tan Malaka. Memang, sejarah ala
pemerintahan Orde Baru yang bercokol tiga dekade lebih amat menentukan citra
buruk Tan sebagai “pengkhianat bangsa”.
Padahal Tan Malaka ialah salah satu dari empat pendiri bangsa Indonesia selain
Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Hanya saja, dibanding tiga lainnya yang lebih
moderat dan via perundingan, Tan menggelorakan semangat kemerdekaan lewat jalur
pemberontakan.
Menariknya, buku ini diolah dari hasil riset tesis Heru Joni Putra untuk kelulusan dari prodi Cultural Studies, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Maka sejumlah penyesuaian penuturan hasil riset dilakukan agar menjelma bacaan yang dapat diterima khalayak luas. Setelah menuliskan konten ini, saya akan melanjutkan membaca buku ini demi menjawab pertanyaan penting: Seberapa penting penyematan gelar pahlawan di Indonesia?
(Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 4 Januari 2022.)
Thanks Roni!!!!!
BalasHapus