Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemelesetan berbahasa.
“Kami”
sebagai kata masih sering dipertukarkan penyebutannya dengan “kita”, sedang
“kita” luntur makna dari tanda kebersamaan, kebersatuan, kesejajaran.
Kami,
putra-putri Indonesia, berbahasa ngetren biar tak dianggap kuno, gaptek, dan
kudet.
Karena
which is kita anak nongkrong, duduk-duduk sambil main Twitter, Tiktok,
Instagram, dan lain-lain. Tiba-tiba kita mencuit mengungkap mengsedih, mengcapek,
dengan sehonestly kepenatan akhir pekan.
Kami,
putra-putri Indonesia, belum tuntas mencari lima saja perbedaan antara “rubah”
dan “ubah”. Manakah yang kata kerja, dan siapa yang kata benda?
Kapankah
aku perlu mengubah diri agar bisa lebih diterima oleh lingkungan kebangsaanku?
Atau haruskah dengan menjadi rubah?
Proseskah
atau hasil yang lebih penting di putaran zaman? Manakah yang lebih aku
pentingkan, pengubahan atau perubahan?
Kami,
putra-putri Indonesia, meyakini ‘a’ pada putra dan ‘i’ pada putri sebenarnya
tak lebih dari sekadar pembedaan jenis kelamin.
Tapi,
adakah kita—yang sama, bersama, satu, bersatu—bangsa Indonesia yang bukan
perempuan dan bukan lelaki, tapi semuanya, juga yang di antara keduanya.
Kita,
setiap anak Indonesia yang satu, berdaulat, semestinya juga adil, meski belum
tentu sama-sama makmur.
Kami,
putra-putri Indonesia, percuma mengaku berbahasa satu, jika “karena” masih kami
imbuhi konfiks di- dan -kan menjadi “dikarenakan”.
Mengapakah
kita tak ingin bertanya: Akankah hari ini tak bermakna lebih dari peringatan
akan kesejarahan kejadian? Tidakkah kita biarkan tanggalan 28 Oktober tahun
sekian-sekian sekadar sejarah yang sudah selesai, lalu mengisinya untuk
mengenali kekeliruan dan kesalahan?
Kita,
anak-anak Indonesia, tak lepas dari godaan generasi baru demi bisa dibilang
keren dan beken.
Maka
kata kami pelesetkan.
Kita,
anak-anak Indonesia, pun sengaja memelesetkan diri, menceburkan diri,
menenggelamkan diri dalam slogan. Dalam singkatan. Dalam ragam kata dan rupa
bunyi, dengan minim substansi.
PSBB,
PPKM, PPKN, P4, JAP, PUSPA, ORBA.
Kita,
anak-anak Indonesia, sering membantah orangtua, atau orang tua tak mengerti
semesta pikir anak muda kiwari.
Kita,
anak-anak Indonesia, masih bersatu melawan pandemi. Mungkin tak perlu mengsedih
lagi, alih-alih adidaya resiliensi: tahan banting dan lalu melenting.
(Oktober)