Kamis, 18 Juni 2020

Tanda-tanda Sahaja Wiji Thukul

Dok. Pribadi



Aku tak ingin kamu pergi. Aku juga tak ingin kamu pulang. Aku hanya ingin kamu ada.
(Sipon, istri
Wiji Thukul)


Sosok Wiji Thukul berambut ikal dan urakan kerap dilekatkan dengan semangat juang aktivis melawan Orde Baru. Bahkan sampai kini, aksi mahasiswa kerap memakai kredo dari petilan puisi “Peringatan” karyanya: “Hanya ada satu kata: Lawan!”

Berkebalikan dari itu, film Istirahatlah Kata-kata menggambarkan kegelisahan Wiji semasa pelariannya di Pontianak, Kalimantan Barat. Wiji (diperankan oleh Gunawan Maryanto) ditampilkan terkucil dari hiruk-pikuk perjuangan aktivis yang memprotes pemerintahan otoriter Presiden Soeharto.

Sejarah mencatat, usai tragedi kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, Wiji masuk daftar buronan pemerintah. Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang digawanginya dituduh sebagai dalang kerusuhan. Dia pun menjadi terpisah dari istrinya, Sipon (Marissa Anita), dan kedua anaknya yang masih kecil, Fitri dan Fajar.

Menumpang di rumah Martin, salah satu kenalannya di Pontianak, kehidupan Wiji digambarkan kelam dan terimpit keterbatasan. Dibayang-bayangi tindak represif aparat, keterasingannya mencuat dalam puisi-puisinya. Sesekali dengan sembunyi-sembunyi dia menemui istrinya.

Hari-hari Wiji diliputi sunyi diperkuat akting Gunawan Maryanto yang berbicara cadel dan minim dialog, kecuali menonjol lewat gestur.

Kekuatan film ini juga terlihat dari pilihan penceritaan melalui adegan-adegan puitik. Dibandingkan film-film biopik umumnya yang menceritakan babak kehidupan tokoh-tokoh besar secara heroik, seperti Sukarno, KH. Ahmad Dahlan, dan Tjokroaminoto, Wiji Thukul dihadirkan sebagai sosok sahaja. Wiji yang kalut, yang lebih dari takut—hingga tak dapat tidur berhari-hari. Wiji yang kata-kata protesnya diredam oleh deru senapan.

Sejumlah adegan berkesan melekat di ingatan saya. Wiji yang keluar rumah kala listrik padam, menjumpai seorang ibu yang tengah menggendong bayinya yang merengek.

Dalam suasana pekat kelabu malam itu, Wiji bertanya, “Bapaknya mana?

Jawaban si ibu membuat saya tertegun karena seakan-akan menggenapi kisah hidup Wiji sendiri. “Bapaknya lagi pergi, enggak tahu pergi ke mana…

Adegan puitik lain tak hanya “bersuara” lantang, tapi kreatif membangun nuansa mencekam secara aural. Satu yang terkuat ialah adegan dua tentara bermain bulutangkis yang menggaungkan bunyi seperti letupan peluru-peluru senapan.

Gambar dan suara berpadu laras dengan baris-baris puisi yang dituturkan Wiji Thukul lewat suara latar (voice over). Kelihaian Anggi ini patut diacungi jempol. Begitu pun adegan saat Wiji menelepon Sipon lewat wartel. Perbincangan keduanya yang menggantung disambung siulan dari mulut Sipon membunyikan nada Darah Juang”—lagu wajib para aktivis yang kerap dilantunkan di setiap unjuk rasa mahasiswa.

Lirih terngiang di telinga saya sebaris lagu itu: Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar/ Bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat...//

Film ini menjelmakan sisi kepahlawanan Wiji secara puitik karena mengingatkan sisi manusiawi Wiji. Semangat kepahlawanan membela rakyat kecil dan tertindas yang digelorakannya nyaris tak muncul.

Namun, dalam tempo yang amat lambat di beberapa adegan, film ini justru mampu menyajikan cerita yang melangut. Didera cemas dan fasilitas hidup terbatas, Wiji tetap menaruh harapan hidup dan rindu keluarga.

Dialog akhir Sipon seperti mewakili harapan setiap orang pada penegakan keadilan dan kemanusiaan di negeri ini. Film ini membawa kita merefleksikan dalam hening: Betapa perjuangan menegakkan keadilan belum tuntas dan roh perjuangan Wiji Thukul akan selalu kita rindukan. Ia akan terus ada, dan berlipat ganda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar