Menjelang hukuman mati dijatuhkan, tersiar kabar sebagai
berikut.
Ketika berada di ruang dalam istananya, hati Pontius Pilatus
tenang. Dia tak menjumpai satu kesalahan pun dari orang ini, yang dari-Nya kita
melihat bahwa satu per satu murid-Nya terhimpun dari kalangan orang-orang
biasa, terpinggirkan, tak diperhitungkan, bahkan dipandang umum
berdosa.
Lalu Pilatus, pemegang kuasa Romawi kala itu,
menghampiri kumpulan rakyat. Di luar kediaman pribadi istananya, hatinya
bimbang. Kalut dan kecut. Ia malah terkepung.
Sorak-sorak dari mereka: Bebaskan Barabas!
Padahal hatinya tahu, ia hanya dapat memilih seorang untuk
dilepaskan. Sedang Raja Orang Yahudi itu tidak bersalah.
Salibkan Dia, teriak mereka lagi.
Pilatus tak benar-benar takut. Dia punya kuasa sebagai
raja manusia untuk membebaskan atau tak membebaskan seorang tawanan.
Menjatuhkan hukuman atau melepaskan.
Menentukan siapa yang bebas, siapa yang
akan tersalib
Tetapi hati manusia Pilatus yang pengecut tak tenteram bila
sudah terhasut.
Nyatanya, Yang Akan Tersalib justru membebaskan banyak
orang yang telah menuntut hukuman dijatuhkan kepada-Nya.
Pilatus menjadi dingin dalam kebijaksanaan
oleh keinginan-keinginannya. Dia lari dari himpitan provokasi dengan
membasuh kesalahan dalam sebaki air.
Yesus mendiamkan diri. Yesus tahu cawan yang harus Dia minum.
Dia mencicipi, lalu meneruskannya sampai selesai di kayu salib.
Hati Yesus yang taat tak mengeluh walau sudah berpeluh dan
berdarah. Dia tenang menurut, tahu kepada siapa hati-Nya
harus berpaut.
(Rabu, 15 April 2020)