Kineforum, 10 Oktober 2018. Sesudah pemutaran film Aruna & Lidahnya, sutradara Edwin berbagi cerita tentang produksi film tersebut yang dikelola di bawah rumah produksi Palari Films. |
FILM PANJANG TERANYAR karya sutradara Edwin, Aruna & Lidahnya, mengingatkan kita bahwa penceritaan terbaik film bertumpu
pada dialog keseharian yang wajar. Mengisahkan cinta dan persahabatan di antara
empat tokoh utama, Aruna & Lidahnya turut mengajak kita berwisata kuliner sembari menyibak konspirasi
isu wabah flu burung yang pernah santer di Tanah Air. Kepiawaian akting Dian Sastrowardoyo dan
Nicholas Saputra sanggup melepaskan stereotipe peran sepasang Rangga-Cinta yang melekat sekian lama.
“Ini kita bisa
pelan-pelan aja nggak sih? Lu ngejer apa sih, Ris?” tanya Bono yang terduduk waswas
dalam mobil yang dikemudikan Farish. Bersama Aruna dan Nadezhda, mereka berempat
tengah mengitari kawasan Pontianak dan Singkawang, Kalimantan Barat. Perjalanan
itu bermula dari tugas dinas luar kota dari kantor Aruna, One World, untuk
meneliti kasus flu burung. Selain kedua kota tadi, Surabaya dan Madura juga mereka
datangi.
Adegan pembuka itu mengarahkan
perhatian penonton dalam dinamika empat karakter utama dalam film. Aruna Rai
(Dian Sastrowardoyo), 35 tahun, adalah seorang ahli wabah (epidemiologist)
spesialis flu unggas. Dia dan Farish (Oka Antara) saling memendam perasaan suka
sejak bekerja sekantor di One World dua tahun lalu. Aruna bersahabat dengan
Bono (Nicholas Saputra), 30 tahun, seorang kepala koki atau chef di sebuah restoran; dan Nadezhda
Azhari, 33 tahun, penulis catatan perjalanan dan makanan.
Mengadaptasi novel karangan
Laksmi Pamuntjak berjudul sama, Aruna
& Lidahnya (Gramedia Pustaka Utama, 2014), Edwin mengajukan kesegaran dalam
buah karya tangan dinginnya. Dibandingkan film-filmnya terdahulu, Aruna &
Lidahnya bercorak lebih “ngepop” dan menghibur.
Setelah
bertungkus-lumus dengan abusive
relationship dalam Posesif (2017), misalnya, Edwin menyajikan film yang dikemas
bernuansa perjalanan dan kulinari khas Nusantara. Beberapa menu yang
ditampilkan di film ini adalah bakmi kepiting, bakmi lempar, dan choi pan khas Singkawang,
pengkang dan nasi goreng khas Pontianak, sop buntut, rujak soto, rawon. Ada juga lorjuk khas Madura.
Keempat tokoh itu masih
lajang. Kegemaran Aruna, Bono, dan Nadezhda “icip-icip” kali ini berlapis-lipat
dengan kisah perasaan yang selama disembunyikan di antara mereka. Terlebih, Farish
yang kini bekerja di Ditjen Penanggulangan Wabah dan Pemulihan Prasarana (PWP2) turut serta menemani Aruna melakukan riset atas kasus yang
sama.
Edwin, Titien, dan ‘Lidah’ Kita
Dalam diskusi seusai
pemutaran film Aruna & Lidahnya di Kineforum, Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, Rabu (10/10/2018), Edwin menuturkan sambutan baiknya terhadap ide
cerita novel karya Laksmi itu. Laksmi dan Edwin telah saling mengenal akrab. Bermula dari tawaran Laksmi kepada Edwin untuk
mengadaptasi novelnya, Edwin pun tertarik menggubahnya ke film.
“Saya nyangkut (tertarik) dengan novel ini. Banyak kemungkinan yang bisa diungkap. Ada tentang makanan yang luar biasa, juga aspek penyelidikan flu
burung. Setelah Posesif (2017), saya ingin bikin film yang rileks, sekalian dapat membuat nonton jadi lapar dan happy. Mudah-mudahan bikin happy,” tutur Edwin.
Dia juga sangat
tertarik dengan hubungan persahabatan dan cara bercerita
Laksmi dalam novel. “Auranya (novel) sangat sinematik,” kata dia.
Alhasil, Edwin melakukan treatment pada tokoh Aruna untuk beberapa kali secara langsung berbicara
ke hadapan kamera. Sesekali Aruna juga
mencuri pandang ke kamera. Tak hanya dengan kata-kata, tapi juga ekspresi wajah
atau mimik, dan gerak-gerik mata.
Treatment atas karakter Aruna yang seolah berdialog dengan penonton itu dimaksudkan
pula membangun keakraban empat karakter utama dengan penonton. Sebagai film
yang membicarakan banyak makanan, teknik itu pun menjadi aspek visual yang menguatkan
daya tarik kepada penonton untuk turut merasakan kenikmatan makanan. Sebagaimana
kata Edwin, “Agar penonton bisa dekat dan
ngerasain makanannya. Penonton juga sebagai karakter kelima, bagian dari keempat tokoh di film.”
Alhasil, “dinding
keempat” yang memisahkan antara penonton dan tontonan (sebagaimana dalam seni
pertunjukan) teretas. Terbangunlah keakraban: antara Aruna, lidahnya, dan kita
sebagai penonton. Lidah Aruna (juga Bono, dan Nadezhda) mewakili lidah kita
semua; Aruna adalah kita. Treatment
ini, dengan beberapa kali Dian sebagai Aruna yang melirik dan memandang ke arah
penonton, sungguh sesuatu yang menarik, segar, dan terbilang baru karena jarang
dipakai dalam film Indonesia mutakhir.
Lihatlah bagaimana Dian
mengembulkan pipinya untuk menahan tawa malunya saat digoda Farish. Atau saat dia
dengan sengaja melirik ke kamera lalu melebarkan binar matanya sebagai rasa
senang atas tawaran makan bareng dari Farish. Juga kerlingan mata, dan ekspresi
lainnya yang menggemaskan!
Pemutaran film Aruna & Lidahnya yang disambung dengan diskusi bersama penulis skenario Titien Wattimena. Bertempat di Kineforum, 9 Oktober 2018. |
Adaptasi Novel ke Film
Sementara itu,
penulis skenario Titien Wattimena mengatakan, proses dia menggarap skrip Aruna
& Lidahnya melalui diskusi intensif dengan Edwin. Sebelumnya, ia terlibat
pula menulis skenario untuk film Edwin lainnya, Postcard From The Zoo (2012). Berbeda dengan saat itu, Titien menyebut bahwa prosesnya menulis skenario Aruna & Lidahnya jauh lebih intens dengan Edwin. Selain itu, Titien,
yang juga biasa disapa Tinut, menyebutkan bahwa Laksmi memberi keleluasaan penuh
kepada Edwin untuk mengolah ide cerita novel menjadi film.
“Novel dan film adalah dua media yang berbeda. Laksmi juga membiarkan Aruna dan kawan-kawan masuk ke dunia Edwin (selaku sutradara),” kata Titien.
Menulis skenario untuk film-film Edwin, lanjut Titien, menjadi hal yang sangat
menarik buatnya. “Ada banyak isu yang diangkat. Ini menguji kreativitas terhadap isi cerita dalam menentukan urutan mana yang menjadi prioritas,” ujar Titien, di Kineforum sehari sebelumnya, Selasa
(9/10/2018).
Hal itulah yang diakui
Titien sebagai proses yang membuat adaptasi novel Aruna dan Lidahnya ke dalam film cukup “susah”. Ini terutama untuk menyelaraskan
tujuan yang diinginkan oleh rumah produksi Palari Films dalam membuat karya
film yang lebih “ngepop”—menghibur.
Meski dibebaskan
dalam mengembangkan ide cerita ke dalam bahasa film, Edwin tampak cukup
patuh bersetia pada gagasan utama novel. Pilihan gagasan utama film pun akhirnya mengutamakan
perihal makanan. Hal ini sejalan dengan yang dituliskan Laksmi pada novelnya.
Menukil isi novel Aruna & Lidahnya, Edwin dan tim
Palari Films mengiyakan gagasan ini untuk mengemuka dalam film:
“…semua cerita pada
akhirnya butuh pokok dan tokoh, dengan makanan sebagai pokok dan ia [Aruna]
sebagai tokoh, dan semua dimulai di sebuah kantor di sudut kecil Jakarta…” (hlm. 18)
Maka Aruna & Lidahnya hadir mewujud film yang menyisipkan kisah persahabatan dan cinta dalam cerita perjalanan menikmati kuliner. Adapun sebagaimana dikatakan Titien, perihal investigasi kasus flu burung oleh Aruna dan Farish menjadi perkakas untuk menggulirkan alur cerita. Kecuali itu, dibandingkan dalam novel, jenis makanan di film jauh lebih sedikit. Edwin menuturkan pula, ada kebutuhan untuk menampilkan beberapa jenis menu lain yang tak ada dalam novel. Tiga di antaranya adalah Lorjuk, Soto Lamongan, dan Sop Buntut.
Maka Aruna & Lidahnya hadir mewujud film yang menyisipkan kisah persahabatan dan cinta dalam cerita perjalanan menikmati kuliner. Adapun sebagaimana dikatakan Titien, perihal investigasi kasus flu burung oleh Aruna dan Farish menjadi perkakas untuk menggulirkan alur cerita. Kecuali itu, dibandingkan dalam novel, jenis makanan di film jauh lebih sedikit. Edwin menuturkan pula, ada kebutuhan untuk menampilkan beberapa jenis menu lain yang tak ada dalam novel. Tiga di antaranya adalah Lorjuk, Soto Lamongan, dan Sop Buntut.
Tidak Ada Rangga-Cinta Kali Ini
Pilihan atas Dian
dan Nicholas sebagai pemeran karakter Aruna dan Bono sangat kuat membangun
keutuhan rasa di film ini. Keduanya pun menghadirkan sebuah dinamika keaktoran
yang berbeda dengan pemeranan mereka yang selama ini kuat melekat di benak
penonton kebanyakan: sebagai Cinta dan Rangga. Akting Oka Antara sebagai Farish
pun berhasil mempertunjukan relasi lebih intim yang bertumbuh antara karakter Aruna
dan Farish.
Selaku sutradara, Edwin juga percaya penuh pada kemampuan Dian dan Nicholas memerankan dua orang
sahabat. “Dian dan Nicho, ya aktor. Jadi nggak terlalu masalah dengan keduanya. Nicho juga masuk akal berperan sebagai Bono karena jago masak, hobi travelling. Saya cukup mengenalnya,” kata Edwin. Sementara
pemilihan Dian, diungkapkan Edwin, dinilai mendekati penggambaran karakter Aruna
seperti tertulis dalam novel.
Titien pun
menjelaskan, dalam casting keempat
tokoh itu, ia bersepakat dengan Edwin untuk memilih Dian sebagai Aruna. “Dian diminta baca
novelnya agar memperoleh
gambaran lengkap ceritanya. Dian juga berdiskusi soal makanan dengan Edwin.” Sementara itu, Oka Antara dan Hannah Al Rashid yang ditentukan belakangan cukup diberikan skenario
utuh. Terpilihnya Nicholas sebagai pemeran Bono justru paling akhir.
Dalam draf skenario
semula, kata Titien, relasi
persahabatan antara Aruna dan Bono digambarkan lebih akrab. Namun setelah terpilihnya Nicholas sebagai Bono, ia
memperbaiki pokok dialog dan cerita di skenario. “Agar relasi keduanya (dalam film Aruna &
Lidahnya) tidak identik sebagai “Rangga dan Cinta”,” ungkap Titien
beralasan.
Kolaborasi apik Edwin
dan Titien sukses menganggit rangkaian dialog berupa percakapan sehari-hari yang
wajar di kalangan warga eksekutif muda Jakarta. Uniknya, mereka cukup ajek dan ketat
untuk membentuk dan memperbaiki dialog berdasarkan usulan dan catatan saat
proses reading skenario para aktor.
Hal ini, aku Edwin, menjadi pengalaman baru dalam proses produksi filmnya.
“Sebelumnya saya jarang pakai adegan ngobrol
di film. Film ini dialog-dialognya bisa dimainkan, dan saya tetap mencoba approach (mendekati) kewajarannya. Meskipun dialog berupa
obrolan, tetap harus dibentuk, tidak spontan begitu saja. Semua ditata dan ditulis dalam skrip,” tutur Edwin.
Keuletan Edwin
selaku sutradara telah melahirkan Aruna & Lidahnya sebagai nuansa baru dalam
perfilman Indonesia.
Mantan jurnalis Harian Kompas, bergiat di Teater Enambelas,
berumah di @ronirobert.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar