Senin, 26 November 2018

Aruna & Lidahnya: Kekuatan Dialog Film dalam Sajian Kuliner Nusantara


Kineforum, 10 Oktober 2018. Sesudah pemutaran film Aruna & Lidahnya, sutradara Edwin berbagi cerita tentang produksi film tersebut yang dikelola di bawah rumah produksi Palari Films.



FILM PANJANG TERANYAR karya sutradara Edwin, Aruna & Lidahnya, mengingatkan kita bahwa penceritaan terbaik film bertumpu pada dialog keseharian yang wajar. Mengisahkan cinta dan persahabatan di antara empat tokoh utama, Aruna & Lidahnya turut mengajak kita berwisata kuliner sembari menyibak konspirasi isu wabah flu burung yang pernah santer di Tanah Air. Kepiawaian akting Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra sanggup melepaskan stereotipe peran sepasang Rangga-Cinta yang melekat sekian lama.

“Ini kita bisa pelan-pelan aja nggak sih? Lu ngejer apa sih, Ris?” tanya Bono yang terduduk waswas dalam mobil yang dikemudikan Farish. Bersama Aruna dan Nadezhda, mereka berempat tengah mengitari kawasan Pontianak dan Singkawang, Kalimantan Barat. Perjalanan itu bermula dari tugas dinas luar kota dari kantor Aruna, One World, untuk meneliti kasus flu burung. Selain kedua kota tadi, Surabaya dan Madura juga mereka datangi.

Adegan pembuka itu mengarahkan perhatian penonton dalam dinamika empat karakter utama dalam film. Aruna Rai (Dian Sastrowardoyo), 35 tahun, adalah seorang ahli wabah (epidemiologist) spesialis flu unggas. Dia dan Farish (Oka Antara) saling memendam perasaan suka sejak bekerja sekantor di One World dua tahun lalu. Aruna bersahabat dengan Bono (Nicholas Saputra), 30 tahun, seorang kepala koki atau chef di sebuah restoran; dan Nadezhda Azhari, 33 tahun, penulis catatan perjalanan dan makanan.

Mengadaptasi novel karangan Laksmi Pamuntjak berjudul sama, Aruna & Lidahnya (Gramedia Pustaka Utama, 2014), Edwin mengajukan kesegaran dalam buah karya tangan dinginnya. Dibandingkan film-filmnya terdahulu, Aruna & Lidahnya bercorak lebih “ngepop” dan menghibur.

Setelah bertungkus-lumus dengan abusive relationship dalam Posesif (2017), misalnya, Edwin menyajikan film yang dikemas bernuansa perjalanan dan kulinari khas Nusantara. Beberapa menu yang ditampilkan di film ini adalah bakmi kepiting, bakmi lempar, dan choi pan khas Singkawang, pengkang dan nasi goreng khas Pontianak, sop buntut, rujak soto, rawon. Ada juga lorjuk khas Madura.

Keempat tokoh itu masih lajang. Kegemaran Aruna, Bono, dan Nadezhda “icip-icip” kali ini berlapis-lipat dengan kisah perasaan yang selama disembunyikan di antara mereka. Terlebih, Farish yang kini bekerja di Ditjen Penanggulangan Wabah dan Pemulihan Prasarana (PWP2) turut serta menemani Aruna melakukan riset atas kasus yang sama.

Edwin, Titien, dan ‘Lidah’ Kita

Dalam diskusi seusai pemutaran film Aruna & Lidahnya di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (10/10/2018), Edwin menuturkan sambutan baiknya terhadap ide cerita novel karya Laksmi itu. Laksmi dan Edwin telah saling mengenal akrab. Bermula dari tawaran Laksmi kepada Edwin untuk mengadaptasi novelnya, Edwin pun tertarik menggubahnya ke film.

Saya nyangkut (tertarik) dengan novel ini. Banyak kemungkinan yang bisa diungkap. Ada tentang makanan yang luar biasa, juga aspek penyelidikan flu burung. Setelah Posesif (2017), saya ingin bikin film yang rileks, sekalian dapat membuat nonton jadi lapar dan happy. Mudah-mudahan bikin happy,” tutur Edwin.

Dia juga sangat tertarik dengan hubungan persahabatan dan cara bercerita Laksmi dalam novel. “Auranya (novel) sangat sinematik,” kata dia. Alhasil, Edwin melakukan treatment pada tokoh Aruna untuk beberapa kali secara langsung berbicara ke hadapan kamera. Sesekali Aruna juga mencuri pandang ke kamera. Tak hanya dengan kata-kata, tapi juga ekspresi wajah atau mimik, dan gerak-gerik mata.

Treatment atas karakter Aruna yang seolah berdialog dengan penonton itu dimaksudkan pula membangun keakraban empat karakter utama dengan penonton. Sebagai film yang membicarakan banyak makanan, teknik itu pun menjadi aspek visual yang menguatkan daya tarik kepada penonton untuk turut merasakan kenikmatan makanan. Sebagaimana kata Edwin, “Agar penonton bisa dekat dan ngerasain makanannya. Penonton juga sebagai karakter kelima, bagian dari keempat tokoh di film.

Alhasil, “dinding keempat” yang memisahkan antara penonton dan tontonan (sebagaimana dalam seni pertunjukan) teretas. Terbangunlah keakraban: antara Aruna, lidahnya, dan kita sebagai penonton. Lidah Aruna (juga Bono, dan Nadezhda) mewakili lidah kita semua; Aruna adalah kita. Treatment ini, dengan beberapa kali Dian sebagai Aruna yang melirik dan memandang ke arah penonton, sungguh sesuatu yang menarik, segar, dan terbilang baru karena jarang dipakai dalam film Indonesia mutakhir.

Lihatlah bagaimana Dian mengembulkan pipinya untuk menahan tawa malunya saat digoda Farish. Atau saat dia dengan sengaja melirik ke kamera lalu melebarkan binar matanya sebagai rasa senang atas tawaran makan bareng dari Farish. Juga kerlingan mata, dan ekspresi lainnya yang menggemaskan!
Pemutaran film Aruna & Lidahnya yang disambung dengan diskusi bersama penulis skenario Titien Wattimena. Bertempat di Kineforum, 9 Oktober 2018.


Adaptasi Novel ke Film
Sementara itu, penulis skenario Titien Wattimena mengatakan, proses dia menggarap skrip Aruna & Lidahnya melalui diskusi intensif dengan Edwin. Sebelumnya, ia terlibat pula menulis skenario untuk film Edwin lainnya, Postcard From The Zoo (2012). Berbeda dengan saat itu, Titien menyebut bahwa prosesnya menulis skenario Aruna & Lidahnya jauh lebih intens dengan Edwin. Selain itu, Titien, yang juga biasa disapa Tinut, menyebutkan bahwa Laksmi memberi keleluasaan penuh kepada Edwin untuk mengolah ide cerita novel menjadi film.

Novel dan film adalah dua media yang berbeda. Laksmi juga membiarkan Aruna dan kawan-kawan masuk ke dunia Edwin (selaku sutradara),” kata Titien.
Menulis skenario untuk film-film Edwin, lanjut Titien, menjadi hal yang sangat menarik buatnya. “Ada banyak isu yang diangkat. Ini menguji kreativitas terhadap isi cerita dalam menentukan urutan mana yang menjadi prioritas,” ujar Titien, di Kineforum sehari sebelumnya, Selasa (9/10/2018).

Hal itulah yang diakui Titien sebagai proses yang membuat adaptasi novel Aruna dan Lidahnya ke dalam film cukup “susah. Ini terutama untuk menyelaraskan tujuan yang diinginkan oleh rumah produksi Palari Films dalam membuat karya film yang lebih “ngepop”—menghibur.

Meski dibebaskan dalam mengembangkan ide cerita ke dalam bahasa film, Edwin tampak cukup patuh bersetia pada gagasan utama novel. Pilihan gagasan utama film pun akhirnya mengutamakan perihal makanan. Hal ini sejalan dengan yang dituliskan Laksmi pada novelnya.
Menukil isi novel Aruna & Lidahnya, Edwin dan tim Palari Films mengiyakan gagasan ini untuk mengemuka dalam film:

“…semua cerita pada akhirnya butuh pokok dan tokoh, dengan makanan sebagai pokok dan ia [Aruna] sebagai tokoh, dan semua dimulai di sebuah kantor di sudut kecil Jakarta…” (hlm. 18)

Maka Aruna & Lidahnya hadir mewujud film yang menyisipkan kisah persahabatan dan cinta dalam cerita perjalanan menikmati kuliner. Adapun sebagaimana dikatakan Titien, perihal investigasi kasus flu burung oleh Aruna dan Farish menjadi perkakas untuk menggulirkan alur cerita. Kecuali itu, dibandingkan dalam novel, jenis makanan di film jauh lebih sedikit. Edwin menuturkan pula, ada kebutuhan untuk menampilkan beberapa jenis menu lain yang tak ada dalam novel. Tiga di antaranya adalah Lorjuk, Soto Lamongan, dan Sop Buntut.


Tidak Ada Rangga-Cinta Kali Ini
Pilihan atas Dian dan Nicholas sebagai pemeran karakter Aruna dan Bono sangat kuat membangun keutuhan rasa di film ini. Keduanya pun menghadirkan sebuah dinamika keaktoran yang berbeda dengan pemeranan mereka yang selama ini kuat melekat di benak penonton kebanyakan: sebagai Cinta dan Rangga. Akting Oka Antara sebagai Farish pun berhasil mempertunjukan relasi lebih intim yang bertumbuh antara karakter Aruna dan Farish.

Selaku sutradara, Edwin juga percaya penuh pada kemampuan Dian dan Nicholas memerankan dua orang sahabat. “Dian dan Nicho, ya aktor. Jadi nggak terlalu masalah dengan keduanya. Nicho juga masuk akal berperan sebagai Bono karena jago masak, hobi travelling. Saya cukup mengenalnya,” kata Edwin. Sementara pemilihan Dian, diungkapkan Edwin, dinilai mendekati penggambaran karakter Aruna seperti tertulis dalam novel.

Titien pun menjelaskan, dalam casting keempat tokoh itu, ia bersepakat dengan Edwin untuk memilih Dian sebagai Aruna. “Dian diminta baca novelnya agar memperoleh gambaran lengkap ceritanya. Dian juga berdiskusi soal makanan dengan Edwin.” Sementara itu, Oka Antara dan Hannah Al Rashid yang ditentukan belakangan cukup diberikan skenario utuh. Terpilihnya Nicholas sebagai pemeran Bono justru paling akhir.

Dalam draf skenario semula, kata Titien, relasi persahabatan antara Aruna dan Bono digambarkan lebih akrab. Namun setelah terpilihnya Nicholas sebagai Bono, ia memperbaiki pokok dialog dan cerita di skenario. “Agar relasi keduanya (dalam film Aruna & Lidahnya) tidak identik sebagai “Rangga dan Cinta,” ungkap Titien beralasan.
  
Kolaborasi apik Edwin dan Titien sukses menganggit rangkaian dialog berupa percakapan sehari-hari yang wajar di kalangan warga eksekutif muda Jakarta. Uniknya, mereka cukup ajek dan ketat untuk membentuk dan memperbaiki dialog berdasarkan usulan dan catatan saat proses reading skenario para aktor. Hal ini, aku Edwin, menjadi pengalaman baru dalam proses produksi filmnya.

“Sebelumnya saya jarang pakai adegan ngobrol di film. Film ini dialog-dialognya bisa dimainkan, dan saya tetap mencoba approach (mendekati) kewajarannya. Meskipun dialog berupa obrolan, tetap harus dibentuk, tidak spontan begitu saja. Semua ditata dan ditulis dalam skrip,” tutur Edwin.

Keuletan Edwin selaku sutradara telah melahirkan Aruna & Lidahnya sebagai nuansa baru dalam perfilman Indonesia.
Satu adegan di film Aruna & Lidahnya.


* Robertus Rony Setiawan
Mantan jurnalis Harian Kompas, bergiat di Teater Enambelas, berumah di @ronirobert.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar