PADA SEBUAH IBADAT Kristiani, seorang pastur berkhotbah dengan mencuplik sepenggal kisah
film Silence (2016). Film yang disutradarai
Martin Scorsese itu bercerita tentang dua misionaris Portugal yang diutus ke
Jepang pada abad ke-17, yaitu frater Sebastiรฃo Rodrigues (diperankan Andrew Garfield) dan Francisco
Garupe (Adam Driver). Perutusan itu juga dimotivasi keinginan bertemu guru mereka, Ferreira (Liam Neeson), yang berhasil dalam penginjilan
di sana pada masa silam.
Kenyataannya, penolakan keras kekaisaran Jepang terhadap upaya kristenisasi
membuat Rodrigues dan Garupe tercenung. Kepercayaan Kristen
dianggap akan mengganggu stabilitas pemerintahan. Para Kirishitan
(penganut Kristen secara tersembunyi) ditangkapi dan dihukum
gantung dengan kepala di bawah, atau ditenggelamkan ke laut. Mereka pun
diperingatkan untuk memberitahukan persembunyian warga dan misionaris Kristen dengan
imbalan uang.
Lambat laun, tekanan seorang utusan kekaisaran Jepang melemahkan hati Rodrigues. Ia menjadi rela menyangkal imannya demi membebaskan
nyawa orang-orang Kristen setempat dari hukuman mati.
Menirukan ucapan Rodrigues sesaat sebelum menyangkal, pastur tadi berkata: “Yesus,
engkau telah datang ke dunia untuk menanggung dosa orang-orang yang
menginjakmu. Izinkanlah saya menginjakmu sekali lagi untuk menyelamatkan semua
orang di sini.” Dengan menuruti perintah untuk menginjak
logam berukir wajah Yesus, Rodrigues pun menyangkal imannya.
*
Dalam esai di harian Kompas, Sabtu (20/10/2018), Nurman Hakim menyatakan,
perkembangan kritik film sangat lambat dibandingkan maraknya jumlah dan kualitas
film Indonesia belakangan. Ini, menurut Nurman, isu yang perlu
diperhatikan dalam ekosistem perfilman. Bercermin dari sejarah keberadaan kritik
film di Barat, ia memandang pentingnya peran kritikus-kritikus film untuk memberi
ulasan film yang bermutu demi turut membangun ekosistem perfilman.
Penuturan itu memang benar. Tanpa pencatatan oleh
kritikus film, akan sulit diketahui bagaimana dinamika karya film-film Tanah Air; misalnya apa isu sosial cerita
yang diangkat, teknologi dan biaya produksi film, hingga jumlah penonton dan kualitas permainan aktor-aktor. Dari kritik-kritik
film yang rutinlah kita akan mudah menyusun satu demi satu bentang masalah untuk merefleksikan
perjalanan perfilman kita. Harapannya, evaluasi itu memacu perkembangan
kuantitas dan kualitas karya film, juga eksosistem penyangganya.
Membaca Kritik Film
Kritikus film dari The New Yorker Pauline Kael, pernah berkata,
“Dalam kesenian satu-satunya sumber informasi yang bebas hanyalah kritik.
Lainnya itu iklan.” (JB Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia, 2004: 34). Pernyataan itu
menyiratkan makna bahwa kritik film berperan vital sebagai media pengetahuan,
terutama bagi penikmat film. Sekurangnya ada dua fungsi kritikus bagi pembuat film.
Lewat penafsirannya, kritikus membantu menyampaikan gagasan si kreator film
kepada penonton. Kritikus juga memberikan evaluasi atas karya film sineas.
Pada dasarnya, keberadaan kritik film terkait erat dengan perkembangan
karya film. Seperti diungkapkan Salim Said dalam buku Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar
(1991), perkembangan kritik sangat ditentukan
oleh karya-karya film sebagai obyek yang dikaji. Dengan menempatkan film
sebagaimana karya seni lainnya, seperti teater, Said memandang bahwa kemajuan kritik
sangat bergantung pada kondisi dan mutu kesenian suatu bangsa.
“Hanya di negeri
dengan penulisan teater yang majulah bisa muncul seorang Martin Esslin. Sebab
apakah yang akan menjadi objek tulisannya jika di sana tidak ada orang-orang
seperti (Eugene) Ionesco dan (Samuel) Becket.” (Said, 1991: 16). Terhadap film yang berkualitaslah para kritikus film
berkesempatan menumbuhkan daya kritis dan penilaiannya.
Maka dari itu, untuk menilai kualitas kritik film Indonesia setidaknya perlu diamati dua aspek. Pertama,
bagaimana pandangan umum masyarakat terhadap
(karya) film. Selain itu, bagaimana kualitas film-film Indonesia yang merangsang diskusi publik—termasuk kritikus
film.
|
Garin Nugroho dalam sebuah sesi tanya-jawab pada penutupan Festival Film Madani, IFI Thamrin, Jakarta, 21 Oktober 2018. |
Film: Hiburan atau Pembelajaran?
Pada malam penutupan
Festival Film Madani di Jakarta, Minggu (21/10/2018), seorang penonton
bertanya, mengapa film-film Garin Nugroho seringkali cuma diminati sedikit penonton. Selama ini, Garin dikenal sebagai sutradara film-film berkualitas, antara lain Cinta
dalam Sepotong Roti (1990), Daun di
Atas Bantal (1997), Mata Tertutup
(2011), dan Nyai (2016).
Garin merespons dengan
berpendapat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah
kalangan yang hidup di bawah doktrinasi dan masyarakat “dunia bermain”. Masyarakat
penonton yang terdoktrinasi aturan undang-undang tercermin dari konten sinetron yang marak menampilkan wajah karakter penegak hukum atau agamawan sebagai pihak yang
selalu benar. Sementara itu, di tingkatan masyarakat “dunia bermain”,
menonton film dianggap sekadar kebutuhan relaksasi atau untuk memperoleh
hiburan saja.
Akibatnya, kata Garin, film cenderung masih dipandang sebagai hiburan semata yang
dapat dengan segera dilupakan. “Orang-orang hanya menonton. Setelah film selesai, mereka
lupa isi pesan film. Nonton, selesai, lupa. Nonton, selesai, lupa,” ujarnya.
Dari gambaran yang dituturkan Garin itu, saya pun terbetik sadar: karena film masih dipandang sebatas hiburan, belum banyak masyarakat kita yang dengan getol
bahkan tekun mengapresiasi karya film. Fungsi film sebagai media pembelajaran juga belum diyakini penuh.
Terlebih kritik film.
Ia masih jauh dari misi mendukung kemajuan ekosistem perfilman Tanah Air. Hal ini turut membuat kritik film yang beredar di media massa atau daring kebanyakan hanya berkutat membahas unsur-unsur formal film,
seperti sinopsis cerita, siapa sutradara, para aktor yang berperan, dan durasi film. Film jarang diamati secara mendalam dengan paradigma lain, misalnya film sebagai media yang
melibatkan proses komunikasi, kritik dan kontrol sosial, atau media edukasi.
|
Poster film Silence (2016) |
Mandeg Regenerasi
Saya cukup tergugah
dengan pastur yang membagikan inti cerita film Silence (yang saya terakan di awal tulisan) untuk menjelaskan bahwa
ajaran Gereja Katolik sesungguhnya tak mengenal sebutan
murtad, melainkan “menjauh dari Tuhan”. Meskipun seorang berpindah keyakinan, kata Bapa Pastur, hal itu hanyalah
perubahan identitas agama saja.
Bila nanti ia hendak kembali
ke dalam Gereja, tidak memerlukan pembaptisan lagi. Di pengujung film digambarkan, jasad Rodrigues terbujur kaku dalam posisi duduk
mendekap salib kecil. Iman yang ia peluk pertama kali akan hidup abadi hingga akhir hayat.
Hanya dengan kepekaan melihat
nilai penting sebuah film untuk pencerahan atau pembelajaran seperti itulah, saya
rasa, dapat menumbuhkan kritik-kritik film bermutu.
Di samping itu, sharing ilmu dan studi tentang kritik
film juga patut disebar-semaikan untuk mendorong bertumbuhnya kritikus film
baru. Ini sebuah prasyarat untuk memacu regenerasi kritikus seni di negeri ini
yang sudah sangat mandeg atau sedikit jumlahnya. Sesudah Seno Gumira Ajidarma
atau Leila S. Chudori, siapa lagi? Selain Eric Sasono,
Totot Indrarto, dan Hikmat Darmawan, kita membutuhkan kapabilitas dari kritikus baru yang
relevan dalam mengikuti perkembangan film nasional yang terus bertumbuh.
Mendamba kritik-kritik film yang
bermutu untuk dapat mengiringi geliat produksi film tentu bukan pekerjaan
mudah. Namun, sekali lagi, kritik film bermutu sangat penting demi mengatur
pergerakan roda perfilman kita. Ibarat roda sepeda yang digerakkan lewat rantai
yang terhubung dengan pedal, kritik filmlah yang menjaga, mengawasi, dan memberi
masukan bagi perjalanan perfilman. Bravo,
film Indonesia! (ROBERTUS RONY SETIAWAN)