Ternyata Saya (Juga) Cina...
Lihat
saya. Lihat foto saya. Apa beda saya dengan Ernest Prakasa yang sipit
itu? Atau, bagaimanakah membedakan saya dengan Ferry Salim? Keduanya
kebetulan adalah pekerja seni sekaligus pesohor di layar kaca.
Mereka
adalah sebagian dari kalangan warga Indonesia keturunan Cina atawa
Tionghoa. Selain penampakan warna kulit yang jauh lebih terang, mereka
jelas sudah lebih matang dan sejahtera dibanding saya. (Dan saya terus
berjuang di sela-sela berolah kata untuk beroleh pengembangan diri dalam
larik "Berilah kami rezeki pada hari ini...")
Okay, let's to the point. Alis saya yang tebal dan meliuk naik sebelah, kata seorang teman, menandakan Cina. Saya
lantas ingat dan perlu menuliskan hal ini: ayah saya dan kerabat ayah
saya mengatakan bahwa nenek buyut saya ialah orang Cina. Kurang-lebih,
sewaktu kecil saya pernah didongengi, "Nenek dari nenekmu itu Cina lho,
Le..."
Saya pun manggut-manggut seraya menggumam, "Ooo..."
Saya,
yang semasa sekolah dasar akrab dengan kawan-kawan keturunan Tionghoa,
lupa bagaimana berelasi dengan kalangan seperti mereka. Sudah lebih
banyak meyakini bahwa diri saya--mencuplik sebutan kolomnis Radhar Panca
Dahana--adalah sebuah "remukan".
Saya ialah
anak lelaki yang besar dalam keluarga Jawa, tapi dikitari pergaulan masa
kecil bersama masyarakat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya
mengukir ke-Jawa-an dalam rentang perkuliahan di Yogyakarta, dan
sekarang agak bercita rasa 'lu-gua' di Ibukota, Jakarta.
Saya "orang Jawa yang mulai hilang Jawanya", demikian saya menyitir buah pikiran Dahana.
Apakah ke-Tionghoa-an dalam diri saya, selain lekukan tebal alis itu?
Identitas fana, diri saya mungkin abadi.
Selamat Tahun Baru Imlek 2567, Gong Xi Fa Cai!
Jakarta, 9 Februari 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar