“Kalau besok akan berlalu, apa yang
akan kamu katakan di hari ini?” Kamu bertanya sambil menyangga kedua sikumu di pahamu.
Aku akan bilang, sore tadi sesuatu
menahanku untuk mendudukkan diri di kursi umat seusai perayaan ekaristi. Ialah
hujan. Sebuah guntur menggelegar mengagetkan kami. Kami bersorak. Nyaring,
seperti yang baru saja kami tunaikan: bernyanyi memadukan suara.
Sang Penghibur yang sekilas menyapa,
menggamit leherku. “HEH, KAMU BELUM MENGAKU DOSA, KAN? ENAK AJA, DATANG KE
GEREJA MEJENG PAKAI BAJU MENTERENG. SANA, MAAFIN DULU SESAMAMU YANG KAMU SAKITI.”
Aku tercenung sebentar, lantas
termangu.
Kamu, masih dengerin ceritaku kan? Plis, jangan bosan, ya!
“Ya, aku nungguin kamu bercerita…” Satu
tanganmu menahan dagumu yang mungil.
Tetiba aku ingat, ada seseorang di
sudut luar dunia sana yang—bukan
siapa-siapa.., kamu nggak usah berprasangka aneh-aneh dulu—pernah
mencatatkan rasa. Senang sekadarnya, sakit sejadinya. Tapi aku sudah lepas dari
masa itu. So…., I can go through in the new moment. Leave behind.
“Eh, sang penghibur itu siapa sih?”
Kamu bertanya, memotong ceritaku ini.
Dia adalah sesosok yang akan selalu hadir walaupun tak dapat kita rengkuh
dengan indera secara utuh.
“Tuhan?”
Iya. Oke, aku lanjutin ya….
Kemarin, aku mencoba melepaskan
perasaan itu. Mematikan rasa, melepaskan ikatan rasa. Rasa yang seingatku,
sesungguhnya sekadar dititipkan padaku. Dititipkan atau tertitipkan. Maka ia
bukan benar-benar milikku.
Bersama peluh tanpa mengaduh, lari
sore kemarin ialah waktunya. Pelepasan yang menyegarkan. Seperti umumnya seusai
berolahraga, saat jogging kemarin aku
tak tahu apa yang kukejar hendak kurengkuh, hanya menikmati bermain. Sampai
cukup lelah. Cukup berkeringat basah.
Bukankah begitu kisahku yang dulu
itu? Mengalirkan rasa dan memantulkan-mantulkannya, tak serta-merta ingin
membendungnya. Sampai semua selesai tanpa persepakatan bersama. Kita waktu itu,
maksudku kami, lalu kembali sendiri. Kembali ke lubang persembunyian
masing-masing. Bersama dengan atau tidak dengan sesiapa.
Tapi, ya demikianlah leganya kaku-kelu
badan juga perasaan yang terbiarkan membeku. Lembam.
“Kamu kenapa kok pakai kata-kata yang
ada ter- ter- nya? Kesannya kamu itu nggak bisa mengendalikan yang ada di
luar dirimu…” Sahut-potong-jeda oleh dan darimu.
Ataukah memang begitu ya? Seolah aku
bukan sutradara, aku cuma pelaku, meski aku memiliki kuasa—sedikit
kuasa—mengontrol yang aku hadapi. Entahlah.
“’Kita tak boleh lembam’, katamu padaku satu kali. Masih ingatkah?”
Yaaa, karena seperti sepak bola yang
ada bola sepaknya. Permainan dan kehidupan suatu permainan tak bisa didiamkan.
Bila bola tak ditendang, akan ada yang tak menggairahkan bagi kita yang
memainkannya dan bagi yang menyaksikannya. Bukankah hidup ini adalah suatu
pertunjukan? Hidup manusia dewasa ini cenderung menjelma performing culture…
“Stop, aku malas dikuliahin cultural studies kali ini. Dongengmu
aja…” Kamu menegurku.
Sorry. Bila
bola dibiarkan diam, ia akan menjadi sejadi-jadinya benda mati. Ia harus terus
digulirkan, dimainkan, ditendang-diumpan-ditendang-dioper-ditendang lagi untuk lalu
diceploskan.
“Kenapa?”
Supaya tim yang bertanding tak
kehilangan momentum terbaiknya membuahkan kemenangan—atau jika kamu tak menang,
setidaknya ada kesenangan. Seperti itulah juga kita, manusia yang punya rasa
punya hati (Eh, kenapa aku cuplik lirik
lagu gini ya?). Ruh yang tersimpan dalam tubuh yang tak bergerak, lembam
itu, akan mengerut. Akibatnya kita jadi tak bergairah, semangat patah, jalanmu
mudah lelah sebab tak terlatih dan tidak terbiasa susah.
Kesulitan kecil, beban ringan,
pertanyaan mudah, godaan-tantangan-tawaran biasa ialah latihan-latihannya. Itu
perlu buat kamu-yang-masih-mudah-merengek-di-tengah-derap-usiamu-yang-tak-lamban-lagi.
Kamu terlalu dewasa untuk menghadapi yang begitu-begitu saja. Tapi (sambil kuelus
pelan hidungmu yang lucu), jika yang kecil saja kamu belum becus mengurus, aku
pastikan kamu belum mantap menghadapi yang lebih dari itu.
Kamu mengantuk, kulirik dari kelopak
matamu yang meredup sedikit-sedikit hendak mengatup.
Lalu sore tadi, satu per satu, kami
pulang setelah rintik hujan berkurang derasnya. Dan ada banyak orang lain yang
menuju kursi di dekat kami untuk melantunkan doa-pujian-permohonan sebagaimana
biasa.
Tak kuduga, mendung sesaat sebelum
aku berangkat ke perkumpulan paduan suara membuahkan hujan.
Yang kuduga, ada yang harus
kututurkan kala Jumat mendung ini. Jumat Agung ini. Untukmu.
“Eh, kamu berbakat jadi sutradara
deh, kan ceritamu bagus…”
Oh?[]
Jumat pertama April 2015. Pukul 23.06. Mas Pongky bernyanyi: “Tak ada yang akan bisa meruntuhkan niatku ‘tuk bertemu, memeluk, dan menyanding….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar