Oleh Robertus Rony Setiawan
MALAM HARI. Jarum jam dinding
mengarah ke pukul sembilan. Dua bersaudara Budi dan Badu sedang menonton
televisi. Mereka menyimak program bincang-bincang (talkshow) Hitam Putih.
Ada yang berbeda dari Hitam Putih episode Selasa, 12 November
2013, itu. Si “tuan rumah” Deddy Corbuzier kedatangan tamu spesial. Dia adalah
penyanyi dangdut belia, Ayu Ting-Ting.
“Ke mana, ke mana… ke mana… Kuharus
mencari ke mana…,” begitu lantunannya yang paling akrab di telinga Badu. Badu
menggemari musik dangdut sejak biduan cantik itu moncer karena lagu Alamat Palsu. Namun, kali itu Ayu
Ting-Ting membuka acara Hitam Putih
dengan nyanyian lain. “I am single and I am happy…” begitu
pokok tembang yang ia suarakan dengan mulut, kerongkongan, dada, hati, dan…
barangkali juga, perutnya.
“Ada apa dengan Ayu?” Budi
mengamat-amati penampilan fisik Ayu Ting-Ting.
Ternyata perbincangan Ayu dan Deddy
Corbuzier malam itu mengulik kabar burung yang tersebar di media infotainment soal kehamilan Ayu. Mereka berbincang
dalam keramahan yang agak kacau. Dengan tutur kata pelan tapi konfirmatif,
Deddy bertanya, “Ini Ayu beneran
bunting? Terus siapa yang tanggung jawab?”
Setengah grogi dan cemas, Ayu tampak
membelalak. Sejurus kemudian ia tersenyum tersipu menanggapi pertanyaan Deddy.
Namun karena Deddy bertanya lagi guna mencari jawaban pasti, Ayu lalu melempar
pandang ke arah penonton di studio sambil menukas keras, “Iye, gue bunting. Puas, puas loe, puas…?!”
Budi lalu berkata seperti memvonis,
“Wah, Deddy sama Ayu kok kasar banget sih, ngomongnya.”
“Kasar gimana, Bang?” Badu menyahut.
“Kenapa mesti pakai ‘bunting’ sih
kalau mau bilang ‘hamil’?”
“Emang kenapa, Bang?”
“Kan jelas tha, ‘bunting’ itu terkesan…” Budi hendak menjelaskan tapi terhenti
untuk berpikir sebentar. Ia berdehem pelan lalu berkata, “Lebih rendah dari kata
yang lain, misalnya ada ‘hamil’, ‘mengandung’, atau ‘berbadan dua’. Kok mesti
pakai kata ‘bunting’?”
“Eh, bener juga, Bang. Iya ya, kedengaran aneh gitu bilang bun…”
“Bunting, bunting! Apa itu!” Budi
yang kesal mengulang-ulang mengucapkan kata yang banyak dicelotehkan Deddy dan
Ayu dari kotak ajaib itu.
Budi menggeleng-geleng. Badu, isi
kepalanya berputar-putar, lalu berujar.
“Bang, tahan sebentar. Kayaknya
lumrah aja kalau mengucapkan bunting,
apalagi buat mereka yang siaran dari Jakarta ini. Saluran TV-nya kan dari
Jakarta. Nah, Badu dulu ada teman asli Betawi. Waktu Badu ikut dia main ke
Salemba, Jakarta, dia biasa tuh ke teman-temannya
ngomong bunting-bunting begitu…”
“Oh, ya? Tapi kan…”
“Terus gini, Bang, ini kan Ini kan acara talkshow, bincang-bincang. Jadi kalimatnya pakai bahasa lisan.
Lebih langsung, keluar aja dari
pikiran ke mulut. Enggak kayak Abang
yang biasa pakai bahasa tulis, harus benar dan baik sesuai ejaan, sesuai
aturan. Sesuai rambu-rambu, lampu merah, kuning, hijau, belok kiri…”
“Hei, mulai ya kamu ngeledek terus, ha?!” Budi naik pitam.
Badu cekikikan menahan tawa. “Abis, Abang terlalu serius sih…”
“Bukan begitu, Badu. Bahasanya itu, lho. Kalau ada yang lebih baik dan
pantas kenapa tidak dipakai sih…”
“Ya, ya, betul. Tapi Bang, program di
tivi kan juga banyak disiarkan langsung, kayak Hitam Putih ini.” Badu terlihat tak sabar menunggu Ayu Ting-Ting yang
bersiap menyanyi lagi. Ditekannya tombol VOLUME pada remote yang ia genggam.
“Mana remote-nya, sini!” Budi terganggu dengan suara televisi yang
bertambah keras.
“Eits…”
Badu menjauhkan remote dari jangkauan
abangnya. Dia lalu meneruskan, “Jadi ya.., bahasa lisan beda dari bahasa
tulisan yang kalau keliru, kata-katanya harus dipilih-pilih, diganti lagi,
diedit, diperbaiki. Hah, mana sempat, Bang!”
“Sempat atau tidak sempat menyunting
kata-kata, bukan sesederhana itu masalahnya, Badu.”
Badu diam, enggan menanggapi lagi omongan
abangnya. Tapi itu justru memberi kesempatan Budi menjelaskan gagasannya.
“Sesuatu yang tidak sempat itu bisa
jadi kebiasaan buruk. Tidak sempat bisa menjadi tidak biasa, termasuk tidak sempat memperbaiki kekeliruan pemakaian
kata dan tata bahasa. Jangankan Deddy Corbuzier, politisi DPR bahkan Presiden
pun ucapannya sering acak-adul. Kamu ingat…”
“Aaaah…, berisik,” Badu memotong.
“Sudah tahu, Bang. Badu tahu, mengerti, juga paham bahwa masalah sebenarnya,
orang yang punya pemikiran bagus macam Abang ini jumlahnya langka sekali!”
Budi terkejut mematung mendengar
ucapan adiknya. Sementara Badu melengos dari muka kakaknya, seperti ingin pergi.
Budi mencoba mengalihkan pembicaraan
untuk menenangkan situasi. Dia ambil remote
yang ditaruh Badu di atas meja. Dia pilih saluran stasiun TV lainnya. Hanya
sebentar memencet-mencet tombol remote,
Budi terkejut. Dia saksikan sepasang presenter dalam bahasa Indonesia berulang kali
berucap: Caina, Caina… mmm… bla…bla…
Caina… dan…
“Caina, Caina, Caina! Apa, apa-apaan
ini…?! Cina!” Budi setengah berseru tapi suaranya seperti memekik.
“Kenapa, Bang? Kok malah
teriak-teriak seperti kena siram air panas. Santai.”
“Itu lho, aduh. Payah, bubrah!”
“Seperti abang sering bilang, ‘Media
massa sudah merusak bahasa Indonesia’?” Badu menerka maksud abangnya.
“Bukan cuma itu, Du, ternyata…”
Tenggorokan Budi tercekat saat ia lihat lagi kata-kata yang menurutnya
asal-asalan karena tidak patuh ejaan. Tidak yang seharusnya seperti ia dapatkan
saat belajar menulis di pers kampus dulu. Kalimat sampai kata-kata terpendek harus
sesuai EYD, KBBI, Tesaurus, dan pedoman
berbahasa Indonesia yang baik lainnya.
“Ah! Bahasa Indonesia macam mana ini?
Aaaah.., Badu, ternyata televisi sudah payah betul! Tidak hanya merusak, tapi
juga memporandakan bahasa kita!”
Dada Budi berdegup keras, sekali dia
menahan napas. Badu diam, hanya memegang remote
sementara pikirannya bertanya, “Bahasa kita? Kita siapa?”
“Sini,” Budi merenggut remote. Dia tekan tombol POWER. Televisi
mati. Sunyi. Tinggal sebuah kotak ajaib yang tiba-tiba seperti berkata, “Aku
kesepian. Nyalain aku dong…”[]
Manggung, Yogyakarta, November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar