“Sifat baikmu yang orang tahu. Itu karanganku. Sifat aslimu yang hancurkanku. Mereka tak tahu.”
(“Kini Mereka Tahu” - Bernadya)
Tahun 2024 yang sudah hampir habis, dan saya masih merasakan "ke-kurang-an" dari tulisan-tulisan yang terbit di laman Mojok.co. Baik itu kurang berkesan, kurang relevan, kurang menarik, kurang menggelitik, kurang berguna, dan kurang membuat saya bertahan untuk menekuni membaca sebuah tulisan saja hingga selesai di laman tersebut.
Termasuk untuk wacana yang terbit mutakhir ini.
Apakah saya mendengarkan lagu ciptaan Bernadya? Ya.
Apakah saya menyimak dan terkesan dengan lagunya? Ya, karena saya belakangan--pada Rabu siang (18/09/2024) misalnya--menggumamkan dan menyenandungkan sepenggal lirik lagunya selagi bekerja menghadap komputer.
Seberapa berkesan saya atas lagu ciptaannya? "Cukup" artinya sedikit di atas "biasa saja". Saya terpagut dengan timbre vokalnya, lirik bersahaja dan curhat lugas terang--dengan kata lain jujur. Cukup itu saja.
Apakah saya punya ketertarikan lebih mendalam atas lagu-lagunya? Sejauh ini tidak (atau belum).
Maaf, tapi boleh tidak saya menyampaikan pandangan itu? Boleh ya. Ya, sama juga seperti membaca buku. Tidak semua judul buku harus sudah kita (saya, kamu, siapapun) baca. Saya membandingkan buku seperti seorang-demi seorang yang kukenal. Sebuah buku, sebuah cerita, seorang manusia, sepenggal kisah dan rasa. Mereka, satu demi satu, kita kenal dalam perjumpaan di sepanjang hidup kita.
Saya merasa perjumpaan dan perkenalan dengan seorang baru itu ibarat pertemuan yang terasa “sudah diatur” oleh Suatu Kekuatan yang Berada Di Atas; semesta, atau sebutan lain untuk energi semacamnya. Seseorang baru hadir di hadapan dan sekitarku, sejalan dengan pergerakan tubuhku meruang di satu demi satu tempat.
Mereka hadir atau dihadirkan sesuai jejaring yang menghubungkanku dengan mereka: tugasku, tugas mereka, lingkungan sekitarku dan sekitar mereka. Bisa jadi suatu kali pertemuan mengesankan, bisa biasa saja, bisa pula tidak berkesan samasekali, bahkan mungkin membuat kita menggumam: “Ih, dia orangnya ‘enggak banget’!”
Sampai suatu ketika, terkadang jika kita menganggapnya keberuntungan, seseorang tertentu kita nilai baik, berkesan hangat, positif, dan membangkitkan perasaan-perasaan--menyitir puisi Gunawan Maryanto--”yang menyusun sendiri petualangannya”.
Di lain waktu dan cara, bisa juga kesan dan keasyikan kita mengenali dan bergaul dengan sebuah bacaan, tersusup-tutupi dengan isi konten media atau buku lainnya. Hubungan dengan seseorang yang sedang kuakrabi pun dapat tertindih-bagi dengan perhatianku kepada orang-orang lainnya.
Menyoal Bernadya, seingatku sekira beberapa minggu sebelumnya, awal September, salah satu konten di akun Instagram sebuah media nasional mengulas kesan-pesan di balik lagu-lagu Bernadya. Jujur, aku yang kala itu masih jauh lebih tidak familiar dengan Bernadya dan lagu-lagunya, kurang tersentuh (atau merasa “relate”--sebutan populer anak muda kiwari) dengan lagu-lagu Bernadya.
Konten itu seakan dengan garis bawah tebal menekankan lagu Bernadya mewakili kesedih-galauan remaja atau kalangan pemuda kebanyakan. Saya tidak begitu paham, dan karena itulah saya kurang begitu tertarik dengan unggahan konten informasi tersebut.
Lantas, saya jadi semakin bertanya-tanya saat menemukan konten terkait di akun Instagram Mojok.co tentang lirik lagu Bernadya. Barangkali perasaanku tidak berubah, belum bertualang di lipatan-lipatan kalimat dan frasa keputusasaan-patah hati-kesal-kecewa anggitan Bernadya. Sampai hari ini, di saat kata-kataku berujung titik di sini.
Mungkin, Mojok.co dan Bernadya belum cocok dengan selera bacaan dan musik saya. Sebagaimana beberapa buku tidak harus tuntas saya baca hingga akhir, pun tidak semua orang perlu dan harus saya kenal dan mereka mengenali saya. Ya, kan?
18-09-2024, pukul 23.33 Wita.