|
Rabu malam (10/4/2019), Novel Baswedan menyambut sejumlah tamu dari media massa. |
Dua tahun silam, 11 April 2017, menjadi pagi kelam buat
Novel Baswedan. Seusai menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya di Jalan
Deposito, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, anggota
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu mendapatkan siraman air keras pada
wajahnya oleh orang tak dikenal. Kedua matanya terluka. Hingga kini, penglihatannya
menjadi terbatas.
Belakangan, di tengah upaya pelemahan KPK yang meningkat, Novel
Baswedan juga berbagi kegelisahannya terkait teror-teror yang menghambat kerja KPK
dalam memberantas korupsi. Selama sekitar satu jam, saya bersama rekan videografer Alinea.id berbincang
dengan Novel Baswedan di ruang tamu rumahnya pada Rabu malam (10/4/2019).
Setiap pertanyaan dijawab Novel dengan uraian lengkap disertai kesabaran cukup besar.
Novel mula-mula menampik klaim-klaim sepihak yang kerap
menyudutkan kedudukan dirinya sebagai seorang pegawai KPK dan anggota tim
penyidik. Salah satunya ialah netralitas dia sebagai penyidik KPK diragukan.
Pasalnya, tersebar kabar bahwa kader partai tertentu mengklaim kedudukan Novel sebagai
bagian dari kelompok partainya.
Dia pun menduga beberapa demonstrasi di halaman depan di
Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan
Persada, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu siang (10/4), terkait isu itu termasuk sebagai
rancangan pelemahan kerja komisi antirasuah itu. Meski baginya berlebihan, Novel
berupaya selalu sabar menyikapi tudingan miring yang ditujukan kepada dirinya.
“Saya berupaya selalu sabar, tapi kadangkala hal seperti
itu keterlaluan,” kata dia.
Dengan
tegas dia menjelaskan makna netralitas anggota KPK dari afiliasi dengan partai politik. “Kalau
anggota KPK berafiliasi dengan partai politik, itu pastinya dia akan menghambat
perkara, membocorkan perkara, dan mempermainkan perkara,” ujar Novel.
Novel menekankan pesimismenya terhadap upaya pengusutan
kasusnya yang kini tengah ditangani Tim Gabungan Penyelidik di bawah tanggung
jawab Kapolri. Dia juga mengingatkan meskipun pengusutan atas kasusnya belum menjadi
prioritas pemerintah, perlindungan bagi pegawai KPK lainnya haruslah lebih diperhatikan.
Dia mengatakan teror-teror terhadap anggota penyidik dan penyelidik KPK semakin
banyak. Ini tentu membahayakan keselamatan pegawai KPK, selain menghambat penangan
kasus-kasus korupsi.
“Ini bukan serangan yang hanya ditujukan kepada diri saya.
Saya nggak ingin ada orang lain lagi yang menjadi korban seperti saya. Saya
juga tidak ingin kalau suatu saat ada orang yang terbunuh di KPK dan kemudian
tidak diusut samasekali,” tuturnya.
Dia menyebutkan beberapa contoh tindakan teror terhadap
anggota KPK. Selain diculik, kata Novel, beberapa anggota KPK banyak yang
diancam dibunuh, rumahnya dipasangi bom rakitan, hingga pemukulan terhadap dua anggota
KPK di Hotel Borobudur, awal Februari 2019.
“Kasus-kasus seperti itu banyak sekali yang terjadi. Tidak
satupun diungkap. Sampai sekarang teror itu masih terjadi,” kata Novel.
Ancaman pelemahan KPK
Memasuki
tahun kedua peristiwa ancaman atas keselamatan dirinya, Novel menyimpan kecemasan
bila kasusnya tak jua dituntaskan. Sambil menggambarkan kondisi mutakhir di
tubuh KPK berupa penyampaian petisi 114 penyidik dan penyelidik KPK kepada
pimpinan KPK pada akhir Maret lalu, Novel menyebutkan, teror terhadap anggota
KPK terus meningkat dan menjadi-jadi.
Soal
kabar burung penggunaan uang pribadi penyidik karena khawatir rencana operasi
tangkap tangan bocor ke publik, misalnya, Novel mengatakan, hal itu tidak
benar. Uang pribadi anggota KPK yang digunakan untuk keperluan dinas, kata
Novel, akan diganti melalui sistem re-imburse.
“Itu suatu hal yang lazim, biasa,” ujarnya.
Alih-alih
dia menegaskan berkembangnya ancaman-ancaman kebocoran informasi yang dapat
menggagalkan operasi penangkapan koruptor. Seperti dirincikan dalam petisi 114
penyidik dan penyelidik KPK itu, pegawai KPK mengharapkan sikap aktif pimpinan
KPK terkait lima poin keberatan yang dapat mengganggu profesionalitas KPK. Lima
hal ini meliputi hambatan penanganan perkara di tingkat kedeputian penindakan,
tingkat kebocoran yang tinggi dalam penyelidikan dan penyidikan korupsi,
perlakuan khusus kepada saksi, kesulitan penggeledahan dan pencekalan, dan
pembiaran dugaan pelanggaran berat.
Terkait
masalah yang menjadi keberatan pegawai KPK tersebut, Novel menyimpulkan ada
pola tindakan perlawanan terhadap KPK.
“Setiap
kali kami
melakukan aksi, selalu ada orang tertentu, kelompok-kelompok tidak jelas,
melakukan upaya perlawanan, pembusukan, penghinaan terhadap KPK,” kata Novel.
Menantikan
ketegasan Presiden
Meski telah berkomunikasi dengan
Presiden Joko Widodo, Novel menyayangkan tim pencari fakta yang independen atas
kasus yang dialaminya belum dibentuk hingga kini. Permintaan itu diajukan Novel
kepada Presiden sejak satu setengah tahun lalu.
Seiring berjalannya waktu, Novel mengungkapkan,
dirinya diminta oleh Presiden supaya menahan diri untuk membicarakan soal pengusutan
kasusnya. Hal ini membuat Novel tak habis pikir, terlebih, kata dia, permintaan
itu disampaikan pada masa mendekati pemilu 17 April 2019. Novel berpendapat,
justru masa kampanye jelang pemungutan suara menjadi momentum untuk menunjukkan
komitmen para calon pemimpin negara dalam mengungkap kasus itu.
“Beliau (Presiden Joko Widodo) berpesan
diam, artinya beliau sebagai presiden menurut saya tidak cukup responsif. Kalau
sekarang keadaannya sudah separah ini, lalu saya menuntut komitmen beliau,
salahkah saya?” tutur Novel.
Novel pun mencium gelagat tak enak dari Tim
Gabungan Penyelidikan Kasus Novel Baswedan yang dibentuk pada 8 Januari 2019 melalui
Surat Keputusan Kapolri. Pasalnya, sejak awal pengumpulan informasi untuk
penyidikan kasus penyiraman air keras itu, diketahui ada sejumlah penghilangan barang
bukti berupa sidik jari di gelas dan botol wadah air keras, juga rekaman kamera
pengintai (CCTV) yang terpasang di jalur yang dilewati pelaku penyiraman.
“Saksi-saksi yang lainnya terintimidasi,
malah juga trauma,” ucapnya, menambahkan.
Lebih jauh, penghilangan barang bukti
itu menjadi catatan yang mesti diselidiki oleh tim pencari fakta karena telah menimbulkan
penyalahgunaan proses dalam pemeriksaan kasus (abuse of process). Sebab bukti-bukti itu merupakan faktor utama
dari pemeriksaan atas tempat kejadian perkara sebagai tahap awal dalam
penyelidikan.
Maka dari itu, kata Novel, tim gabungan
penyelidikan harus bekerja berdasarkan rekomendasi utuh dan menyeluruh, tanpa
pilih-pilih. Catatan Komnas HAM yang menjadi dasar kerja penyelidikan tim
tersebut, menurut Novel, terkesan “menyortir” sejumlah rekomendasi saja.
“Rekomendasi dari Komnas HAM hanya
dipilih-pilih saja mana yang menurut mereka baik atau bisa mereka lakukan, atau
bisa dipersepsi,” katanya, sambil menyebut abuse
of process itu berpotensi mengaburkan penemuan fakta kasus itu. Kekhawatiran
Novel itu diperkuat dengan keikutsertaan penyelidik-penyelidik yang telah melakukan
penyalahgunaan proses dalam tim gabungan penyelidik.
“Jangan-jangan (tim) ini malah punya
maksud untuk menghapus jejak secara sempurna,” kata Novel, setengah yakin.
Kesangsian Novel itu tak muncul tiba-tiba.
Dia mengkritik latar belakang pemilihan anggota tim gabungan penyelidik yang
dilakukan tertutup. Hal itu, menurutnya, menyiratkan maksud tersembunyi dari pihak
Polri. Anggota Tim Gabungan Penyelidik Kasus Novel Baswedan yang berjumlah 65
orang itu umumnya dipilih dari lingkungan staf khusus atau staf ahli yang
ditunjuk oleh Kapolri, selain anggota Komisi Kepolisian Nasional.
“Kalau memang Kapolri ingin membentuk
tim penyidik, atau tim gabungan yang beneran, kenapa nggak bikin tim dari
anggota masyarakat yang diyakini oleh publik?” kata Novel.
|
Suasana kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta, Rabu sore (10/4/2019). |
Menangkap penjahat itu menyenangkan
Novel Baswedan sebetulnya punya
cita-cita berbeda dengan jalan hidup yang dia lakoni sampai sekarang. Lelaki
yang pada 22 Juni 2019 akan menginjak usia 42 tahun ini ternyata pernah berkeinginan
menjadi arsitek atau sarjana teknik sipil. Bayangan itu dilatarbelakangi usahanya
di bidang material saat duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah atas di
Semarang, Jawa Tengah.
Novel menuturkan, saat itu kondisi
perekonomian orangtua dan keluarganya sedang sulit. Dengan bekerja sebagai
wiraswasta, Novel menjadi penyangga kebutuhan biaya sekolah adik-adiknya.
“Dengan
usaha pembuatan material setengah jadi, membuat saya pengin jadi arsitek atau
teknik sipil. Kalau di sekolah saya unggul di pelajaran matematika dan fisika,”
katanya.
Namun, jalan hidup mengarahkannya masuk ke
Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Kala itu, AKABRI masih
mencakup juga sekolah untuk calon polisi. Selepas SMA, dia mengiyakan ajakan teman-teman
satu sekolahnya untuk mendaftar bersama-sama ke AKABRI.
“Karena sekolahnya nggak pakai biaya,” kata dia.
Novel lalu memilih matra Polisi saat
mengenyam pendidikan di AKABRI.
“Ya, namanya anak-anak, kita berpikir bagaimana
kita bisa punya kesempatan untuk bisa bekerja yang tugasnya adalah pelayanan
masyarakat. ‘Kan menyenangkan menangkap penjahat itu,” ujarnya sambil tersenyum.
Setelah lulus dari AKABRI pada 1998, Novel
ditugaskan di Bengkulu pada 1999–2005. Di sana dia sempat menjabat Kasat
Reskrim Polres Bengkulu pada 2004. “Saya pernah juga di Aceh setahun, pada
2000, untuk mendukung pemulihan keamanan,” ujar Novel.
Lingkungan kerja semasa bertugas sebagai
anggota kepolisian, kata Novel, membentuk mental dan kepribadiannya yang berani
membela kepentingan orang banyak. Baginya, nominal honor polisi kala itu tidak
begitu besar, tetapi dibebani tanggung jawab cukup banyak. Kondisi terbatas
semacam itulah yang mendidiknya untuk bersikap peduli dan bersahaja.
“Bagaimana kita bisa hidup dengan sederhana,
bagaimana kita peduli dengan kepentingan orang lain, bagaimana kemudian kita
bisa mau berjuang untuk kepentingan orang banyak. Itulah yang kemudian mendidik
saya memilih jalan-jalan seperti itu, sampai sekarang,” tuturnya.
Novel mengakui memilih bertahan mengabdi
sebagai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia mengungkapkan, dia selalu
terpanggil untuk mengabdi kepentingan bangsa dan negara bersama KPK, meskipun
berulang kali mendapat tawaran bekerja di perusahaan lain.
“Tahun 2016 saya ditawari jadi komisaris
salah satu BUMN. Bisa saja saya terima. Tapi saya tolak. Kenapa? Demi bangsa
dan negara,” kata Novel yang resmi menjadi penyidik KPK sejak 2014.
Ancaman keselamatan yang dia alami dua
tahun lalu pun tak menggerus semangatnya memperjuangkan pemberantasan korupsi. Dia
bersyukur atas dukungan publik yang hingga kini terus dilayangkan kepadanya,
seperti melalui petisi-petisi daring. Dia menegaskan, korupsi adalah salah satu
masalah yang besar karena dapat menghambat kesejahteraan masyarakat atapun menimbulkan
kerusakan lingkungan.
“Saya tahu bahwa memberantas korupsi itu
risikonya besar. Tetapi semangat itu mesti harus terus dijaga. Dukungan
masyarakat adalah salah satu bentuk dalam rangka mendorong kami terus
bersemangat,” ujarnya.[]
|
Salah satu kerumunan warga yang berunjuk rasa menyampaikan tuntutan netralitas pegawai KPK, di depan Gedung Merah Putih, Rabu (10/4/2019) |
(Versi lain dan lebih ringkas silakan klik: https://www.alinea.id/nasional/2-tahun-kasus-novel-baswedan-saya-menagih-komitmen-presiden-b1Xev9iZh
)