EMPAT BELAS CERITA PENDEK yang terkumpul dalam buku berjudul
Bakat Menggonggong (Mojok, 2016) sungguh mengantarkan saya ke dalam ruang
penjelajahan yang baru. Sejak membuka cerpen pertama dalam buku ini, Dea
Anugerah, penulisnya, mendongeng dengan senang hati dan ramah.
Seperti menonton film, paragraf-paragraf ialah jalan
pergerakan kamera. Apa yang ditangkap oleh lensa kamera terbidik dan teruraikan
dengan baik lewat tuturan kalimat-kalimat runut. Dalam cerpen "Kemurkaan
Pemuda E" kita diajak mengikuti keseharian tokoh Pemuda E yang adalah
pengarang.
Dengan mata kamera yang menjadi wakil mata pembaca, Dea
mengalirkan kalimat-kalimatnya sebagai seorang pengamat. Namun, ia berbaik hati
dan amat hangat sebagaimana layaknya pendongeng--selintas saya teringat pada keceriaan
Pak Raden, Ria Ernez dan boneka Susan, atau contoh pencerita lebih mutakhir PM
Toh. Saya terbawa masuk dan termasuk sebagai pengamat yang bahkan menguntit
apa-apa yang dikerjakan tokoh Pemuda E.
Perhatikanlah cara Dea mendeskripsikan amatannya terhadap
Tokoh E. Ia, dengan menempatkan diri sebagai pemandu yang terjadwal dan
bermisi, berkisah dengan detail dan menyenangkan.
"...Sebagaimana sudah dijanjikan, kini kita berada di
rumah Pemuda E, sekian jam setelah ia menyelesaikan sarapan. Kita mendengar
bunyi air yang diguyurkan sedikit demi sedikit ke lubang jamban. Tentu itu
Pemuda E yang sedang berak..."
Setelah itu, apa yang saya bayangkan sebagai pergerakan
kamera terang disebutkan di paragraf selanjutnya: "Sesuatu tergeletak di
atas meja kerja pemuda E. Mari kita perjelas dengan zoom-in dan sedikit tilt."
Dan seterusnya seperti menyaksikan sebuah film.
IDENTITAS BUKU:
Judul: BAKAT MENGGONGGONG; KUMPULAN CERITA PENDEK
Penulis: Dea Anugrah
Penerbit: Mojok
Tahun Terbit: 2016
Jumlah halaman: x+ 109
Penulis: Dea Anugrah
Penerbit: Mojok
Tahun Terbit: 2016
Jumlah halaman: x+ 109
Semesta Kisah Sedih
Dea Anugerah, sebagaimana disebutkan pada bagian Tentang
Penulis, ialah wartawan sebuah platform media daring, dengan terlebih
dahulu bekerja sebagai editor di satu penerbit buku. Apa yang kita pahami
sebagai kepatuhan bertata bahasa sudah layak dan sepantasnya diterima (bahkan
dijunjung) penulis muda, termasuk Dea. Kemangkusan dan kejelasan kalimat sudah
diiyakan sebagai sebuah pedoman berkomunikasi via tulisan, seperti dalam teks
berita yang disebarluaskan. Namun, lewat kumpulan cerpen (kumcer) ini, dia mendobrak
dan membangkang dari aturan baku itu.
Misalnya, bercerita tentang Rik, temannya yang gagal sebagai
penulis, Dea--saya menduga ia dengan sadar memilih--menulis kalimat dengan
pengulangan dan penambahan anak-anak kalimat baru seperti ini:
"...Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti
Davis dan mengejutkan seperti Denevi dan lucu seperti Vonnegut dan filosofis
seperti Borges dan sinis seperti Maupassant dan eksperimental seperti D.F.W.
dan mengharukan seperti Hemingway. Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas
seperti Davis dan mengejutkan seperti Denevi dan lucu seperti Vonnegut dan
filosofis seperti Borges dan sinis seperti Maupassant dan eksperimental seperti
D.F.W. dan mengharukan seperti Hemingway dan cerewet seperti Bolano. Dan
kupikir ia akan mati di umur 34 tahun karena paru-parunya berair. Dan kupikir
ia akan mati di umur 34 tahun karena paru-paru yang berair, tanpa pernah
dipedulikan orang." ("Kisah Sedih Kontemporer [XXIV]", hal. 65)
Ada maksud penegasan atau tujuan menyangatkan atas kepedihan
yang dialami tokoh Rik. Dea menuangkan hasrat bermain-mainnya (homo ludens)
lewat cerita bertutur dengan tujuan yang terencana.
Apa sebutan yang layak untuk kesedihan yang menjengkelkan?
Konyol, barangkali. Itulah yang tertangkap dari kisah di kumcer ini. Tak hanya
tentang penulis yang mati muda-dengan ketololannya tak sanggup membuatnya
diperhitungkan orang-di atas, kisah-kisah sedih dicecerkan Dea di sekujur
kumcer ini.
Di "Kisah Sedih Kontemporer (IV)" Dea menyajikan
dialog dua tokoh suami-istri yang bersahut-sahutan. Mereka hendak merundingkan
perihal hak asuh atas anak mereka, Loko, dan pembagian harta gono-gini. Bisa
saja gagasan ini diolah dengan menggelontorkannya disertai bumbu drama lebai
ala telenovela. Namun Dea menuturkan percakapan jelang perpisahan antara ayah
dan ibu itu dengan sangat sederhana tapi menyisakan jejak cerita di benak kita.
Suka ataupun tidak, kita bisa terangsang untuk menerka kelanjutan percakapan
yang mengarah peningkatan ketegangan hubungan mereka.
Dengan struktur cerita serupa, dua cerpen lain berlabel
"kisah sedih" berkutat di tokoh Rik dan Loko. Namun, dengan
susunannya yang tak berurutan, pembaca dipersilakan berjalan-jalan dahulu
mengunjungi cerpen-cerpen dengan label--judul--lain. Sungguhpun demikian, Bakat
Menggonggong ialah sepaket cerita yang membawakan kisah-kisah sedih
berbalut kekhasan bercerita. Bisa membuat kita sejenak merasakan berliburan,
sambil tak lupa bercermin pada pengalaman hidup yang dialami tokoh-tokohnya:
soal rumah tangga hingga korban perang dan bunuh diri.
Bakat Menggonggong
"I have seen dogs with more style than men, although
not many dogs have style". Barangkali tidak berlebihan bila kutipan
Charles Bukowski itu tercantum di halaman perantara Daftar Isi dan cerpen
pertama buku ini.
Dea cukup yakin untuk menampilkan keunikannya bercerita:
gaya tutur, struktur cerita, dan isu yang diungkapkan lewat cerpen.
Selain kesedihan yang lumrah dihadapi pemuda usia tanggung
soal percintaan berlatar belakang profil sebagai penulis (dalam diri tokoh
Frederik atau Rik, juga si Loko, pecinta perempuan), Dea enggan mengangkat
temuan dari risetnya selama residensi di Tulang Bawang Barat, Lampung, secara njelimet.
Menjadilah cerpen "Kisah Afonso" yang menceritakan apa-apa yang ia
alami selama di sana dalam misi menggubah cerita untuk mendukung
"urusan-urusan asyik" bupati setempat.
"Kisah Afonso" tidak berpretensi untuk menjadi
laporan ilmiah yang ketat dengan validitas penelitian, alih-alih mengantarkan
kita pada keasyikan perbenturan repihan cerita-cerita lokal yang masih
simpang-siur kebenarannya. Dalam tiga bagian, Dea sepenuhnya mengandalkan apa
yang ia dengar dan telusuri dari cerita-cerita masyarakat lokal setempat
tentang sepenggal sejarah kedatangan bangsa Prancis ke Tulang Bawang.
Sedari awal, kita digaet untuk menyimak eksposisi yang
disusun mengusik:
"Seekor buaya adalah seekor buaya adalah seekor buaya,
dan seorang manusia adalah seorang manusia adalah seorang manusia. Apakah itu
truisme? Tidak. Afonso Garcia de Solis, misalnya, adalah seekor buaya adalah
seorang manusia adalah penjelajah asal Eropa dan, menurut seorang antropolog,
adalah seekor ikan baung..." (hal. 11)
Sekali lagi, Dea asyik bermain-main dengan tata bahasa untuk
menyentil kesadaran kita yang cenderung konservatif. Itu pula yang saya alami
lantaran kosakata yang ia gunakan kerap terasa tidak populer tapi sesungguhnya
memperkaya cara penuturan. Ia memakai "merancap" alih-alih maturbasi
atau onani, juga "memacak" sebagai pengganti melampirkan atau menyertakan.
Dengan penguasaan kosakata yang luas itu, cara bercerita Dea menjadi khas.
Sebuah "gonggongan" yang memancing perhatian.
Namun, kalaupun gonggongan itu bisa membuat perhatian kita
beralih, Dea alpa untuk mengantisipasi "gonggongannya". Ia kelewat
cerewet untuk membicarakan--mengomentari, menanggapi, mengingat-ingat--satu-dua
kejadian yang terasa terlalu jauh kaitannya dengan persoalan yang tengah
dihadapi tokoh-tokoh dalam cerpennya.
Menghadirkan sosok Harmoko, Menteri Penerangan era Orde
Baru, menjadi kurang relevan dengan kekhusyukan kita mengikuti pergumulan tokoh
penulis untuk bernegosiasi dengan kemungkinan ide-ide cerita yang bakal banyak
diminati publik ("Acara Tengah Malam", hal.108). Ceracau semacam
itulah yang dapat membuat jenuh saat membaca kumcer ini. Tetapi hal itu
tertolong oleh struktur cerpen yang runtut, ringkas, dan singkat.
Dengan kelihaian mengatur komposisi bahan bangunan cerita, Dea menggamit benak saya. Kapan lagi aktivitas membaca sastra terasa lebih menyenangkan? Bila ingin lebih diperhatikan orang, barangkali Dea harus sedikit menahan diri untuk ocehan atau igauannya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar