Masing-masing kita memiliki luka. Ada yang tertancap lama,
terasa sedari lama, dan mengenai bagian-bagian terdalam diri kita. Tak bisa
dimungkiri, luka itu mengondisikan kepribadian dan sikap-sikap kita yang sulit
untuk diarahkan—terutama bila luka itu nyaris tak disadari sebagai luka.
Adalah sebuah kebenaran untuk menerima kondisi riil kita
daripada mengutuk dan menyangkal ketidakpenuhan diri. Kita lupa, sadari bahwa
kita lupa. Kita luka, sikapilah dengan sebuah karunia yang takkan kembali: pengalaman
pahit. Ya, aku takkan mau menerima kepahitan lagi. Dan selayaknya kepahitan itu
berkembang menjadi sebuah hal manis di kemudian hari.
Dan semua akan berubah pada waktu yang tepat. Baik di waktu
yang tak terlambat, alih-alih menghasilkan buah kebajikan yang nikmat. Selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar