ZULKIFLI
akhirnya menyerah. Setelah berkutat dengan berbagai peluang dan perjuangan
mengumpulkan informasi dan merangkainya, ia tak jua berhasil menyimpulkan.
Sebagian besar langkahnya dalam menghasilkan tulisan berita kerap terhalang
berbagai masalah dan ketentuan. Isu politik arus kiri, narasumber yang kabur
karena tersangkut
kasus korupsi, hingga soal remeh-temeh: surat izin liputan
yang tertahan-tahan di meja administrasi. Alhasil, perang belum usai, tapi Zulkifli sudah menghadapi medan yang tak ramah bagi jerih
letihnya sebagai wartawan baru.
Redaktur di kantor berita tempatnya bekerja menolak tegas hasil tulisan berita yang ia tulis. Tak segan-segan,
naskah feature berita menyoal kematian Ketua Komisi Pemilihan Umum itu dicoret-coret oleh
atasannya.
“Tulisan apa ini, Zul?! Hmm... miskin sekali pengungkapan
fakta-faktanya,” Tara Destiana, redaktur desk
politik, menyanggah isi artikel Zulkifli.
Hening. Zulkifli bersiap mendengar perkataan lain yang akan
dilontarkan Tara. Jemari Tara membolak-balik lembaran artikel yang disodorkan
Zulkifli di mejanya sejak pagi tadi. Bayangkan, melapor
hasil berita politik untuk edisi khusus saja Zulkifli telah
menunggu hampir delapan jam. Maklum saja, redakturnya itu terbiasa hadir di
kantor menjelang jam istirahat sore. Bagi Zulkifli, hal itu suatu pengecualian yang terlalu longgar hingga mengganggu ritme
kerja redaksi. Paling tidak, butuh dua
kali masa puasa Ramadhan untuk mengubah kebiasaan redaktur ini. Zulkifli membatin menahan kesal.
Namun setelah satu menit dua menit menunggu, Zulkifli mulai heran. Tara diam tak berkata apa-apa. Ia masih
asyik-masyuk dengan untaian kata-kata dalam berita yang disusun Zulkifli.
Bibir Tara sedikit mengembang, lalu menguncup kembali. Zulkifli pun tersenyum kecil, lantas mengendurkan ketegangan di
lehernya. Sembari berharap, ia mengira tak akan ada perkataan pedas
dari redakturnya yang sesekali membuatnya senang karena biru gincu yang
menggantung di bibirnya itu.
Dengan pulpen merah di tangan, Tara tak lupa menandai sejumlah baris kalimat. Ia menggumam pelan lalu membalikkan kertas ke
lembar berikutnya. Memang, membaca artikel sepanjang sebelas halaman itu cukup
menguji kesabaran. Terlebih bagi Zulkifli yang menganggitnya.
Tiba-tiba Zulkifli disergap ingatan saat ia memberitakan
isu pro-kontra vonis hukuman mati terpidana kasus narkoba. Kala itu, tiga bulan
yang lalu, pemakaian satu-dua pilihan kata yang keliru berhasil membuatnya jadi bulan-bulanan omelan Tara. Sedikit cemas, Zulkifli kemudian menggosok-gosokkan kedua telapak
tangannya. Ia betulkan posisi duduknya. Rasa ingin buang air kecil malah
mendatanginya. Zulkifli ingin bangkit dari kursinya, undur diri sebentar dari
ruangan redaktur desk politik itu.
Dinginnya ruangan karena mesin pendingin berkelahi dengan
panas perasaannya yang canggung. Tapi… mata itu! Pandangan mata Tara! Redaktur itu tiba-tiba memicing. Kaki Zulkifli
pun bergetar menahan gerak tubuhnya. Zulkifli urung
berdiri. Tara mengalihkan pandang.
“Hmm... Zul..,” Tara menghela napas panjang. Zulkifli diam. “Kamu kenapa, Zul?”
“Eh.. ya, Mbak Ta-ra...” Zulkifli terbata. Wajahnya memerah.
Kedua tangannya memegang rapat tempurung lututnya.
“Tulisanmu lebih baik. Nah, cek lagi.
Catatan-catatan saya tolong kamu perhatikan.” Senyum Tara tipis. Zulkifli sudah kebelet pipis.
“Oh? Makasih, Mbak Tara.” Setengah terkejut, Zulkifli
buru-buru menerima naskah yang dikembalikan kepadanya.
Membalikkan badan, ia lalu berlari keluar cepat-cepat.
“Zul, tunggu... Hei, Zuuul...!!”
Mata Tara membelalak.
Bruuk. Pintu
terbanting pelan.
Di kamar mandi,
ritsleting celana Zulkifli nyaris dol. Betapa tidak, ia tergesa-gesa menariknya,
hingga lalu kepala zakarnya mencuat. Cess….
Air seni keluar, disusul air dalam urinair yang menyiram. Sedikit bergidik,
pinggul Zulkifli menggoyang singkat. Napasnya tersengal lega. “Ah…”
“Tulisan saya lebih
baik? Maksudnya?” Zulkifli bertanya pada dirinya sendiri. Ia
skeptis—sebagaimana prinsip kerja kerja wartawan—terhadap ucapan Tara di ruang
kerjanya tadi. Ia hendak memastikan apakah redaktur yang punya
dua anak kembar laki-laki itu memberikan pujian
atau sekadar
ujian. Banyak rekannya sesama reporter yang terkecoh oleh apresiasi
yang disampaikan Tara, alih-alih itu menguji kebertahanan mereka untuk
melaksanakan tanggung jawab selanjutnya yang lebih besar.
Dibacanya
perlahan-lahan lembar demi lembar karya tulisnya yang penuh coreng-moreng merah
cerah itu. Andai rapor sekolah, hampir pasti ia akan tinggal kelas dan
menanggung malu setahun. Ini seperti pertaruhan nasib buatnya: nilai baik dan
dipromosikan pada desk lain, atau
berkubang dalam desk yang sama. Walau
pasrah dengan kebijakan redaksi, sesungguhnya ia ingin mengerjakan liputan
bidang yang lain. Gumamnya: Mikir politik
bisa bikin hidup tambah pelik. Politik asu!
Ia simak dalam hati
catatan tertulis yang diimbuhi Tara. Biasanya
kamu teliti. Yang ini kamu tidak teliti. Kamu luar biasa. “Hah?” Zulkfili
tersindir. “Terang saja saya luput, waktunya mepet,” Zulkifli ingin membela
diri.
Di lembar terakhir feature itu, ia membaca tulisan tangan
Tara: Sepertinya KAMU OKE di desk POLITIK. Zulkifli menelan ludah.
Kepalanya bersandar pada dinding kamar mandi.