Adegan 1
Ayah pulang kerja. Ayah hendak
memarkir sepeda motor di pekarangan. Lalu masuk dan merebahkan diri di kursi
panjang—semacam kursi tamu—dengan ekspresi dan intonasi kelelahan.
Dialog Ayah bertanya kepada Ibu soal sajian teh hangat yang sebagaimana biasa. Lalu menanyakan keberadaan
putranya. Kata Ibu,
anak mereka belum pulang
les sekolah.
“Paling langsung main-main sama anak Pak Sobary.”
“Alah, kenapa sih main sama anak Sobary lagi. Ya sekali-sekali
mainlah ke Ruru Gallery, biar jadi anak gaul dikit…” kata Ayah.
Ayah saling umpan omongan dengan Ibu.
“Masih kecil gimana, sekolahnya kelas 3 SD, tapi pikirannya
sudah jauh ke depan. Justru itu, Ma, biar anak kita cinta seni harus dikenalkan sejak kecil. Tak kenal maka tak sayang kan,
Ma. Mama sayang Papa juga karena Papa kenalan sama Mama tha? Teleponlah anakmu. Mana hapenya, Ma?”
Ibu bertanya setelah mencoba
menelepon dengan handphone. “Kok nggak nyambung… Ah, habis pulsa lagi.”
Ayah berinisiatif menelepon ke nomor hape
anaknya memakai telepon
umum. “Oh,
ya, tak ke sana, telepon di sana.”
Tapi selang sebentar Ibu teringat kalau telepon umum itu sudah
usang, rusak, tak berfungsi meskipun hanya cukup sedap untuk dipandang mata,
menjadi klangenan. “Eh
eh…, Pa! Telepon umumnya udah lama rusak, kata Pak RT!”
Tapi Ayah sudah melangkah cukup jauh meninggalkan rumah, meninggalkan istrinya yang
terduduk cemas.
|
Green-color-summer-HD-wallpaper |
Adegan 2
Anak yang bernama Bagas nyelonong
masuk ke rumah. “Mama,
Mama… Sakit, sakit…”
Bagas merengek-rengek
sambil berlari ke arah ibunya. “Mama... tadi Bagas didorong Putra,… Tadi kan pas ada mobil boks
lewat di deketnya gang masuk musala itu lho Ma… Terus aku kan mau nyelametin
Melani biar gak keseruduk mobil boks. Eh, tapi malah didorong sama Putra. Terus
aku sama Melani jatuh di semen, Ma… Uhuhuhuhu…”
“Wis! Nggak usah
main-main sama Putra lagi. Malah bikin celaka lagi nanti,” Ibu menegur
Bagas.
“Aduh, Ma, sakit… Papa mana?”
“Tadi Papamu pergi nyariin kok belum pulang-pulang…” Ibu mengambil obat
merah lalu meneteskannya sedikit ke atas lutut Bagas yang lecet.
Bagas menahan sakit. “Perih, Ma... Sakit… Aduh….” Setelah cukup tenang
dan senang, Ibu meminta Bagas untuk segera mandi. “Udah, sekarang mandi, terus
nanti pas ketemu Papa Bagas udah wangi, udah bersih.”
“Terus bisa main PES lagi ya sama Papa.”
“Nah iya, kan...”
“Bagas main pakai MU (Manchester United), Ma.”
“Iya, sudah yuk siap-siap mandi…”
“Iya, ya, tapi Ma, kalau kena air jadi sakit nggak ya lukanya...”
“Ya enggak to Gas, nanti malah cepet sembuh, kan air
menghanyutkan kuman dan kotoran.”
“Oh, yaaa, ya Ma.... Eh, bener po Ma? Mama boong
ya...”
“Beneran nggak apa-apa, Cah
Bagus...”
“Masa sih?”
“Iya…”
Bagas melepas pakaiannya. Kemudian bersiap mengambil
perlengkapan mandi.
“Ma, Ma… Nanti kalau Papa udah dateng duluan, bilangin
mainnya Papa pakai… Apa itu, em… Ar… Arsu, Asuuu... Ase…”
“Arsenal.”
“Iya, itu Ma, Arsenal. Biar gampang Bagas ngalahinnya, hihihihi…”
“Iya, nanti Mama bilangin Papa…”
“Bener ya, Ma… Bagas mandi di kali dulu…”
“Iya…”
Bagas pergi keluar ke sungai di daerah
belakang rumah.
Ibu Bagas sontak teringat lagi soal sungai di belakang rumah
mereka yang kotor berwarna abu-abu pekat. Di situ mengalir limbah rumah tangga,
segala kotoran manusia, cucian, juga limbah bekas olahan pabrik di kampung
sebelah, sampai-sampai mereka yang menjabat sebagai pemulung sampah harus bekerja keras
memunguti bungkus-bungkus berharga yang terapung atau tersisih di pinggiran kali.
Ia buru-buru memanggil-manggil
anaknya untuk mencegahnya tidak pergi ke sungai.
“Heh, mandi di kali? Bagas! Heh, jangan di kali... Bau, airnya kotor di
sana... Aduh, anakku...”
Dan Bagas meluncur ke sungai itu untuk melepas duka
melemparkan canda bersama daki di sekujur badannya.
Sebutlah ini: Keluarga Bagas. Inilah sebuah potret keluarga pendatang yang
baru tinggal di ibukota. Mereka gagap gempita di riuh-rendah Jakarta!
Fontana Residency–RuRu Gallery, Tebet, Jaksel, 14/11/2014. Rincis
gerimis, parau galau.