Orang menyapaku begitu, meski tidak selalu.
Kadang kalau aku dianggap ngawur, aku dipanggil asu.
Sudah hampir sewindu aku belum lulus jua.
Sial, kalau aku belum lulus juga sasi depan,
Aku siap pancangkan sesal: Buat apa aku masuk kampus bagus tapi ngehe ini!?
Aku bila sedang kesal dan marah, aku bersikeras untuk melarang diriku:
Jangan membanting apapun.
“Mending aku yang dibanting, hingga menjadi seorang bintang suatu masa mendatang.”
Aku bila sedu dan bersusah hati, bersiteguh aku menahannya, sembari menggumam menggeremang.
“Sedih usah sauh, lemparkan asa sejauh dan setinggi yang bisa kau raup atau tempuh.”
Syukur atau “syukurin”, aku gagal mengelak untuk bersikap memeluk rezeki.
Terima gajimu, terima kasihmu.
Terima perintah bagimu,
laksana abdi mengizinkan peluh membasahi jerih tubuh hari-harinya.
Materai janjimu, melangkah teguh meski tertatih.
Jika waktu bisa diputar, bilakah tentu juga nasib nasabmu?
Hanya nazarku, seusai lulus nanti,
bilakah boleh aku melenggangkan pasrah sudraku?
Piu namaku.
pengkor kakiku satu, kiri
Sebab laka lantas laknat musabab pebalap bajingan tak tahu adat
Pejalan kaki, pejalan hidup sepertiku-sepertimu.
Bila masih ada, bajingankah kita semua manusia yang jadi pelaku duka-luka?
yang melengos melepas tanggung jawab
yang minus gagah alih-alih menanggungkan beban
dendam, luka, hingga kini.
Menjadikanku membuat suatu kaul:
Piu Sutrillanang takkan lagi menggantungkan harap nan parah
kepada janji ampas pemimpin karbitan
yang dikatrol oleh antek partai-partai musiman
yang kosong komitmennya ketimbang penuh poles rayu-mayu dalih lidahnya.
Namaku Piu, Piu Sutrillanang
Puisiku suaraku.
Fatufia, Morowali,
Hari Puisi Indonesia, Jumat (26/07/2024),
23.38 Wita.