Joko Pinurbo, penyair. Kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962, wafat di Yogyakarta, 27 April 2024. (dok.PatjarMerah) |
ada hari-hari membiru:
lebam terbentur realitas hidup buruh pejalan,
lembam lamun sesekali di tengah angan rehat panjang.
lembam lamun sesekali di tengah angan rehat panjang.
Senin yang tanpa upacara bendera,
lulusan akademi patuhi rumus hukum kelas pekerja:
bangun subuh hari,
bangun subuh hari,
terburu-buru santap pagi,
bergegas berdesak dengan ribuan
bergegas berdesak dengan ribuan
sesama penumpang di jalur rezeki
—berebut celah slot-slot keberuntungan.
—berebut celah slot-slot keberuntungan.
Selasa memberat dan keras menguji harap.
Jikapun semua mulus,
Jikapun semua mulus,
adakah asa yang berbuah tanpa bertungkus-lumus?
Ingin lekas akhir pekan,
Ingin lekas akhir pekan,
jika bukan toleh tanggal merah
atau kode honor cair.
Di Rabu yang abu,
dahi-dahi menjemput jemari imam nan lembut dan tegas.
Di sesela temurun gerak lentik ujung jarinya,
selisip pesan menusuk pelipis:
Di sesela temurun gerak lentik ujung jarinya,
selisip pesan menusuk pelipis:
persiapan masa nan amat akhir.
Kamis dada bidang mencerap damai dupa hangat
sungut peluh tubuh-Nya koyak lila terpecah-pecah dan berserah
Inilah tubuhku untuk membalut tubuh telanjang bulatmu,
bilas mencong langkah kakimu.
Aku terharu, tersudut sendu ngilu kuku kelingking terkulai.
Di Jumat nan agung, tungkai Tuhan dicium,
dipuja-puja tanpa kata.
Sedang penyair merentang tubuh,
berbaring lemah tapi tak nyenyak
selagi hendak dipulas berkat minyak
—penyuci dari dosa,
pepulih luka
pengantar jalan baka
Sedang penyair merentang tubuh,
berbaring lemah tapi tak nyenyak
selagi hendak dipulas berkat minyak
—penyuci dari dosa,
pepulih luka
pengantar jalan baka
Sabtu pujangga pulang
tanggalkan tubuh rangkanya
menenangkan jiwanya
memisah,
memindah diri dari duri duniawi
mengeja petilan syiar syair munsyi.
“Pergilah dengan damai kalau kau tak tenteram lagi tinggal di aku.”
Minggu, guguran alfabet tergugah-hendak merekah
merekati yang kemarin dengan hari ini
esok jadi yang dinanti-nanti
—Doaku, Kakanda, In paradisum deducant te angeli.
Kemungkinan adalah ketakpastian yang menimba jawaban
Sebelum awal mengetuk lagi ujung pekanmu
yang berdecak lalu pekat pirau dipetik senja.
“Pergilah dengan damai kalau kau tak tenteram lagi tinggal di aku.”
Minggu, guguran alfabet tergugah-hendak merekah
merekati yang kemarin dengan hari ini
esok jadi yang dinanti-nanti
—Doaku, Kakanda, In paradisum deducant te angeli.
Kemungkinan adalah ketakpastian yang menimba jawaban
Sebelum awal mengetuk lagi ujung pekanmu
yang berdecak lalu pekat pirau dipetik senja.
(Atas nama secangkir kopi pagi mendingin
tertinggal ‘tuk gegas berangkat
Juga kelip pelik cahya kunang-kunang merapat)
Morowali, Minggu–Kamis, 28 April–2 Mei 2024.
tertinggal ‘tuk gegas berangkat
Juga kelip pelik cahya kunang-kunang merapat)
Morowali, Minggu–Kamis, 28 April–2 Mei 2024.