Apa segala menumpang di dalamnya
Anak-anak, ibu menyusui, juga bapak-bapak gelisah mencari hidup
yang berarti
Setiap stasiun adalah perhentian-perhentian
dari hiruk-pikuk gemerlap gejolak kota
atau dari kesederhanaan desa
Ah, manakah desa, mana yang kota bila dunia kini hanya sejauh pandang layar ponsel pintar
sedekat genggaman dan klik-ketik ujung jari
sejak pagi membuka hari
hingga terik dan petang mata meredup mengganti
Tapi, sembilan jam di gerbong kereta ini kulihat Indonesia
senyatanya:
Di hadapanku dua lelaki dewasa berangkul-rangkulan saling senyum manja
satu menonton ajang pencarian bakat di Youtube
seorang lagi mengirim pesan di WhatsApp, lantas menelepon kerabat:
“Kau bisa tolong kirim satu juta ke rekening BRI aku? Di
tabunganku sisa cuma dua ratus ribu.”
Sedang di sebelahku, perempuan remaja yang hendak ke
Mojokerto bergosip:
“Mas, dua orang di depan ini aneh banget ya. Ribeeet sendiri, nggak rebes…”
katanya setengah berbisik
Aku yang sebelumnya lebih sering tertidur
kini jadi awas
Lebih sering melihat-lihat, sembari curi waktu untuk lelap
Seorang balita mondar-mandir sendirian di tengah gerbong
Berjalan lincah menuju pintu border
Setengah telanjang, tak berbaju lengkap
Orang-orang lalu-lalang di tengah gerbong
Tenang
di kursi
masing-masing: tidur, makan, atau bercakap dengan teman sederet
tiada perhati pada si balita kecil
Seperti hendak ke luar gerbong,
langkah putri kecil tertahan seorang lelaki dewasa yang mengejarnya
ia dirangkul, tapi lantas ia merengek, “Eaak….ek.. ek…!”
Aku lega, tersapu kantuk, kembali
tidur
Tak sampai semenit bapak-bapak di depanku kembali berseru
di ujung telepon,
“Pakai Lion Air aja, yang murah. Buat balik dari Semarang
besok Selasa.”
Aku bergeming
Di negeri ini, harga nyawa seperti lebih murah daripada harga naik pesawat
Pelayan kereta melintasi gerbong, menawarkan makanan
Sekotak
mie instan dibeli ibu-ibu yang mengomeli anaknya
“Kalau gini caranya, kamu nyiksa Mama namanya…”
Aku sudah tak bisa tidur
Aku beralih membaca buku
Judulnya Kekerasan
Budaya Pasca 1965
Gadis balita mondar-mandir lagi
Bapak-bapak menelepon lagi
Dangdut bergaung lagi dari calon-calon biduanita
Pikiran aku jadi ke sana-kemari, tak henti-henti
Dari
buku ke sini, dari buku ke situ, lalu ke sana, dan sini lagi
Nyatanya: setiap penumpang negara
Indonesia ini punya keprihatinan masing-masing
Aku, bapak-bapak, ibu-ibu, Mbak, Mas, Tante-tante, Om-om, di depan-belakang kanan-kiri, semua
Apa saja jabatannya, tinggal di desa atau mau turun di
kota mana, semua masih berjuang
Bangsa Indonesia juga terus berjuang: berdamai dengan masa kelam
selagi
hendak melaju menjadi terdepan di era empat
titik nol
Aku termenung, “Sudah sampai manakah kita?”
Tong-ting-tong-ting.. ting tung, ting tung
Tiba-tiba bunyi pengumuman kereta menginterupsi:
“Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta Anda akan berhenti di Stasiun Purwokerto. Bagi Anda yang akan mengakhiri perjalanan di Stasiun Purwokerto kami persilahkan untuk mempersiapkan diri. Periksa dan teliti kembali barang bawaan Anda, jangan sampai ada yang tertinggal atau tertukar.”
Aduh!
Kisah sejarah korban kekerasan ’65 belum genap terungkap dan
diakui negara
Sedang para korban tak bersalah telah ikhlas dan memilih
damai dari luka dan duka
Yang tak bersalah malah dianggap penjahat, memilih memaafkan daripada simpan dendam
Yang bertindak keras dan mudarat kok bermuka dua, menutup kesalahan
dan tunjuk kambing hitam
Sembilan jam di gerbong Indonesia menyadarkanku satu hal:
damai dapat dicapai bila berhati besar akui kesalahan masa
lalu
bangsa kita besar bila debu derita diusap
agar
siap sambut tantangan di masa depanJakarta-Yogyakarta, akhir November 2018