Setiap tanggung jawab tidak akan ada yang dilalaikan dan diabaikan
bila kita tahu apa tugas kita. Setidaknya, bila kita tahu apa yang perlu
dilakukan dalam suatu momen dan kondisi tertentu. Ada persoalan, tanganilah,
selesaikanlah. Jika belum memperoleh apa yang menjadi keinginanmu, terus mencarilah
dan kembangkan usaha untuk mendapatkannya sebagai pembelajaran untukmu. Tak
salah untuk beralih pada pengganti apa yang kamu harapkan menjadi milikmu,
asalkan kamu terus aktif untuk bergerak. Bergerak bukan hanya didorong oleh apa
yang kamu rasakan. Bukan perasaan saja yang menggerakanmu. Selain karena sebuah
perasaan, kamu perlu bergerak dengan didasari pikiran atau pengetahuan dan
jiwamu.
Tapi, kamu juga bisa menerima dan menyetujui kebalikan dari
premis-premis itu. Seperti juga kita dapat melalaikan dan menyisihkan
sebuah-dua buah kegetiran yang melanda sebagian kebahagiaan kita. Namun, di antara
dua hal, selalu ada garis pembatas yang memisahkan. Lalu, apa yang dimaksud
dengan batas?
Untuk menjawabnya, saya bercerita. Di siang hingga sore pada
Jumat lalu, 10 Juni 2016, saya bersama teman-teman sekantor melukisi dinding
dalam kantor. Dengan pola doodle yang
unik dan menggambarkan sebuah perjalanan zaman dan zaman yang bergerak dalam
kota buku cetak (“Book City”), kami bersenang-senang. Bertajuk “Ngabural”
(Ngabuburit Sambil Mural) kami berjalan-jalan
sepanjang dinding, menulisi dan melukisi dengan warna-warni sambil meledek seorang-dua orang teman
dari yang lain. Tinta hitam untuk outline
atau kerangka dan kata-kata kutipan, sedang putih dan kuning untuk beberapa
bagian lain dalam gambar.
Namanya juga orang yang suka membaca dan menganalisa, insting
saya tercelik saat mewarnai dinding itu dengan cat putih. Saya memilih mewarnai
bagian yang harus diberi putih. Sementara teman-teman lain lebih dulu memilih
tinta hitam untuk membuat kerangka dasar gambar, tanpa alasan yang cukup kuat saya
tercetus saja memilih putih. Bukan kuning. Lalu, saya mewarnai DENGAN HATI
GEMBIRA. Sebagian waktu melukis saya isi dengan kekhusyukan—yang selalu
berdampingan dengan keceriwisan teman-teman yang bercanda dan saling menyindir.
Dengan tak jemu-jemu, saya warnai setiap bagian yang harus diwarnai putih sesuai gambar foto petunjuk yang tertempel pada sisi dinding lain. Pada dinding yang akan diwarnai, outline gambar yang sudah dibikin oleh teman-teman tinggal saya isi dengan putih. Teman lainnya mengisi bagian lain yang harus diisi kuning.
Eh, ternyata kerangka bergaris hitam itu juga adalah sebuah
warna yang memberi fungsi kuat ketimbang hanya dipandang sebagai batas dan
dasar dari bentuk obyek-obyek. Ya, memang batas adalah batas. Ia membatasi
warna lain agar semestinya tak keluar melebihi garis tepi. Tapi si hitam itu
berperan pula yang tak sesedikit itu. Meskipun hadir dalam kedudukan yang
kecil, sesungguhnya ia besar dalam memberi andil.
Nah, ketika ada bagian lowong cukup besar yang harus diwarnai
putih dengan kuas besar, saya kelabakan saat akan mewarnai celah-celah kecil.
Dengan sedikit memaksa, saya warnai celah kecil itu dengan kuas yang sama namun
cara memperlakukan kuasnya yang agak berbeda. Berbeda dengan sebelumnya,
membujurkan, kali ini saya memoles celah kecil dengan cara melintangkan sapu kuas.
Maka, ada bagian yang bisa dipoles cukup dengan sedikit cat. Tapi karena
terlalu asyik ingin menyelesaikan dan mewarnai semua bagian termasuk
celah-celah kecil dengan tinta putih, saya memberi warna putih hingga menindih
garis batas hitam, pun keluar dari batas garis hitam itu. Hasilnya jadi tidak
rapi.
Alhasil, batas hitam itu harus ditegaskan kembali agar bentuk
tampilan dan isi obyek-obyek itu dapat terlihat jelas dan baik. Cara mewarnai
celah-celah kecil warna putih pun diubah: memakai kuas yang jauh lebih kecil.
Dari sini, saya belajar menyoal kreativitas. Apa yang kita buat dengan satu dorongan kebebasan, kerap dapat melampaui batas. Kita lupa pada tujuan dan manfaat penting batas, pada ketentuan atau aturan, meski ada kehendak dan maksud baik yang ingin kita capai dari kebebasan itu. Jalan keluarnya ialah, bentuk dan kukuhkanlah kembali batas itu dalam sebuah kesepakatan agar memberi kesepahaman—meski tak mesti kesalingsetujuan—antara dua hal, dua bagian, atau juga dua pihak/orang bila menyangkut sebuah jalinan relasi.
Setelah masing-masing bagian—warna putih dan kerangka hitam, pihak satu dan pihak lain—sama-sama hadir dan tampil dengan cukup tegas (merasa nyaman dan aman dengan diri masing-masing), keduanya sungguh menyatu dalam keutuhan dan kebersamaan. Mereka menerima diri pihak lain selaras dengan menyadari keberadaan diri masing-masing.