DI ERA DIGITAL belakangan
ini, kebertahanan membaca buku mengalami tantangan yang luar biasa. Betapa
tidak, naskah baik belum tentu menjadi menarik hingga perhatian tetap tertarik
untuk meniti rangkaian cerita dalam kata-kata. Yang lepas dan tanggal adalah minat,
lantaran jenuh hadir menyapa, meminta berhenti membaca.
Tapi, setidak-tidaknya ada
satu cara yang mengantarkan kita—atau baru saya saja—pada jalan asyik-masyuk
membaca. Ialah gaya bertutur, bukan melantur melainkan menyajikan suatu paparan
ilmiah dalam cara yang mengalir dan semacam ceritera. Karena siapa yang tak menginginkan
cerita, di tengah kepungan berita oleh perusahaan media-media yang membungkus informasi
sekadar barang jualan. Eksklusif katanya, terpercaya katanya, terhangat
katanya. Nyatanya menyesatkan, melenakan, dan menyuntikkan persepsi negatif atas
segala macam peristiwa.
Maka, sebelum semua keadaan makin
membusuk dan memburuk, bacalah “teks-teks” (tentu lebih dari sekadar yang
tertera pada media cetak, tapi teks apapun itu) dengan wawas. Jika kau merasa
tak puas, berpaling kepada yang bertutur tadi ialah pelepasnya, jalan
keluarnya. Kau tahu yang kau mau—bukan yang kau suka. Yang fana adalah waktu, buku
tidak. Buku akan selalu bertahan, ada, mengisi waktu yang kosong, kefanaan waktu,
sefana-fananya sesuatu.