PERNAHKAH ANDA MENYADARI HIDUP INI ADALAH SEBUAH PERMAINAN? Ketika terjaga
setelah tidur malam, lelah letih tanggal selaras cahaya matahari menyusupi celah
jendela. Cerita indah dalam istirahat semalam sempat melenakan diri, tapi lalu mengejutkan
saat kita tahu bahwa itu cuma mimpi. Senang atau tegang, bisa segera berganti dengan
kecewa. Lalu kita bersiap untuk beraktivitas, mengurus segala keperluan hidup seharian.
Sebagai manusia yang
menjalani kehidupan, kita lantas tahu bahwasanya struktur dalam sistem harian
kita adalah aturan yang menentukan alur permainan hidup. Kitalah pemainnya, melakoni
permainan, ataupun (justru) dipermainkan. Jelasnya, ihwal homo ludens ‘manusia adalah makhluk yang bermain’ tak dapat disangkal.
Kesenangan dan kemenangan yang tersimpan dalam permainan hidup, itulah yang kita
dambakan.
Tetapi setelah itu, adakah
yang lain, apa lagi? Jenuh muncul lantaran kegiatan yang sama terus-menerus berulang,
hampir tanpa jeda. Di titik inilah kekakuan ritme hidup meminta kebebasan dan
pelepasannya. Kesadaran untuk tetap terjaga digedor. Kebanalan dan kejenuhan terlabrak.
Di tangan sejumlah pihak yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan reflektif, karya
bernilai seni berpeluang dilahirkan. Merekalah yang disebut sebagai seniman.
Merespons gambaran kehidupan
sosial-politik masyarakat urban, kartunis Muhammad Reza Bustar yang akrab
dikenal sebagai Azer melemparkan kartun berlabel Komikazer. Dalam kartun
terbarunya, Azer menampilkan gambaran sosok pemuda dengan dandanan nyentrik
menggenggam piranti elektronik, semacam ponsel pintar. Di situ tertulis: “Protes
Kenaikan BBM dari HP yang Harganya Belasan Juta”. Setelah diunggah ke media
sosial, kartun ini menuai beragam komentar. Tidak saja menyangkut setuju atau
tidak setuju atas isi yang digambarkan, respons itu bahkan meruap hingga
persoalan makna dan kesan yang tertangkap oleh masing-masing follower Komikazer. Tak sedikit yang me-like, dan me-retweet atau
me-regram gambar tersebut.
Gambar 1.
Sebuah kartun Komikazer
Secara visual, kartun
ini hadir menyentil kegagapan sebagian besar masyarakat yang lantang menyuarakan
protes atas kenaikan harga BBM. Namun, mereka nyaris lupa bahwa piranti tempat mereka
berkoar dengan memanfaatkan layanan media sosial harganya sangat mahal. Sindiran
yang kiranya pas menyinggung kalangan warga kelas menengah.
Lihat pula sebuah
gambar piramida dengan empat elemen aktor yang berperan dalam pasar kesenian.
Secara berurutan dari bawah ke atas, keempat elemen ini adalah artist (seniman), curator (kurator), collector
(kolektor), dan gallery (galeri,
gedung pameran/pertunjukan). Dengan citra visual demikian, Azer ingin
menyatakan pendapatnya soal kondisi seni rupa, bahwa jumlah seniman yang
berlimpah tak sebanding dengan jumlah kurator dan kolektor. Bahkan ruang pamer
jumlahnya jauh lebih sedikit.
Pada ragam seni rupa
lainnya, Dilayoe (bernama lengkap Dila Martina) mengetengahkan gambar bergerak dalam
medium video berdurasi 7 menit 14 detik. Dalam video berjudul Azab
Perempuan Matre dan Pacarnya Yang Selingkuh di Kota
Kembang ini, Dila
mempertunjukkan karakter lelaki dan perempuan dalam rupa boneka Superman dan
Barbie. Dikisahkan bahwa tokoh Fernando dan Maria—yang mengingatkan kita pada nama
karakter dalam telenovela—sebagai sepasang kekasih. Dalam sebuah adegan, mereka
ditampilkan bermesraan. Dua tahun berselang, Maria lantas mengakui kondisinya
yang tengah hamil. Dari sinilah konflik keduanya tercipta. Fernando lalu pergi
meninggalkan Maria dan berselingkuh dengan perempuan lain. Maria lalu digambarkan sebagai perempuan yang menaruh dendam dan melepaskan
azab untuk Fernando. Melalui penggambaran ini, video Azab Perempuan Matre berkesan sebagai film cerita yang mengemukakan stereotipe karakter dan alur cerita yang
marak dalam tayangan televisi setidaknya pada tahun 2000-an.
Terkait hal ini, Dila mengungkapkan
sejumlah pokok persoalan stereotipe dan kedangkalan dalam tayangan televisi
Indonesia. Pada 2007, saat video ini dibuat, yang teringat oleh Dila dan
menggugahnya adalah tampilan isi program televisi di Indonesia yang monoton.
Berlatar belakang studi Seni Grafis di Institut Teknologi Bandung, Dila mengaku
keterbatasannya untuk mengungkapkan gagasan bila hanya menggunakan medium dua
dimensi. Sebagai peserta program workshop OK. Video 2007 yang difasilitasi ruangrupa, Dila memulai pembelajaran dalam
membuat video sebagai media seni penyampai ide. Lewat video ini, Dila menyisipkan
pesan keprihatinannya atas dampak tayangan televisi bagi anak-anak. Dengan memperlihatkan
bentuk kekerasan dalam permainan dua boneka, Dila ingin menegaskan kepada penonton
karya videonya, “Lu bisa bayangin nggak sih anak kecil nonton sinetron, terus
dia mainin mainannya kayak gitu?”
Kartun dan Video sebagai Medan Budaya (Permainan)
Apa yang diperlihatkan oleh
kartun Komikazer dan distribusinya melalui media sosial menunjukkan watak karya
seni rupa yang dekat menyapa warga kota. Azer pun mengakui bahwa sebagian besar
audiens kartunnya adalah kalangan kelas menengah di perkotaan yang selain membutuhkan
hiburan, kerap mengkritisi masalah sosial-politik yang sedang berkembang.
Sekalipun demikian, sejumlah karyanya tak dapat dipungkiri membuahkan bermacam komentar
lantaran menemui publiknya lewat media sosial yang berkarakter bebas karena relatif
tanpa batas ruang dan waktu. Tak jarang, komentar pengikutnya di Instagram bertentangan dengan maksud pribadinya
ketika membuat kartun. Berkat kemudahan media sosial, Azer dapat langsung
menanggapi guna meluruskan pemahaman keliru dari komentar-komentar miring tersebut.
Di titik inilah, terlihat
bentuk komunikasi aktif antara Azer selaku seniman dan publik yang meminati karyanya.
Kedua pihak menanggapi secara aktif buah
pemikiran masing-masing sehingga terbangun proses dialog dan tawar-menawar. Kondisi ini lantas mengakrabkan keduanya. Seni tak lagi
seperti dikesankan selama ini yang berada pada posisi tak terengkuh publik
lantaran kerumitan arti dan
eksklusivitasnya.
Azer
menyadari bahwa setiap citra visual, termasuk karya kartun, yang ia unggah ke media
sosial akan menjadi konsumsi publik. Ia justru menilai hal ini memudahkan dan
memperluas jangkauan bagi penerimaan karyanya. “Dibanding gua bikin pameran di
galeri, di sini [media sosial] komentarnya bisa lebih jelas dan langsung. Gua pikir
juga kalau di pameran yang ramai cuma pas pembukaan dan penutupan. Pas artist talk pengunjung malah lebih sedikit,”
jelas Azer. Selain itu, lewat media sosial, karyanya akan lebih mudah dilihat orang
dalam berbagai kondisi, dan tak harus datang ke galeri.
Dalam pandangan kurator
ruangrupa Ade Darmawan, hal tersebut menunjukkan
kepekaan bersiasat yang tepat dalam mendistribusikan karya seni. Komikazer yang
telah merambah media sosial Instagram
menjadi cara menjual karya yang akan menggantikan metode konvensional berpameran
di galeri. Pada kelas lokakarya kurator muda di Ruru Gallery, Kamis, 20
November lalu, Ade menegaskan, “Pameran sebagai salah satu metode memajang
karya seni rupa itu suatu saat nanti akan menjadi kuno dan elitis.” Ade
mengasumsikan setidaknya seperempat dari 40.000 pengikut akun Komikazer di Instagram dengan mudah mengenal karya
kartun tersebut yang terakses lewat internet. Angka itu, menurutnya, terpaut
jauh dari jumlah pengunjung pameran seni di galeri.
Demi manfaat yang lebih
besar, Azer pun mengembangkan karya kartunnya dalam bentuk merchandise yang diperjualbelikan. Dia menempuh hal ini setelah kemungkinan
menyebarkan karya cetak berbentuk fotokopian, xerox, atau zine dirasa
tidak menjangkau publik. “Orang itu lebih senang membeli sesuatu yang bisa
dipakai dan dilihat orang,” katanya. Maka dia pun menjual kaus yang bergambar
kartun miliknya lewat media daring (online).
Semua bisnis ini dia gawangi secara mandiri dan seorang diri.
Azer bercerita, pengembangan
Instagram bagi kepentingan penyebaran
karyanya mulai dia lakukan pada 2013. Sebelumnya, di awal 2000-an, Azer banyak
menggelar pameran yang menempati beberapa galeri ataupun ruang yang terbuka
bagi publik luas, seperti pameran komiknya bersama ruangrupa pada 2004 yang merespons celah kosong di halte Transjakarta.
Sejalan perkembangan media internet, banyak orang mulai akrab dengan layanan Blogspot dan Tumblr. Dia pun menggunakan kedua fasilitas tersebut untuk
menampung sepilihan karyanya sejak 2012. Dia memandang bahwa fungsi distribusi
karya secara konvensional kurang efektif dan tak semasif dulu. Akhirnya, mengingat
mobilitas warga kota yang semakin tinggi, setahun kemudian dia mempertimbangkan
kecakapan media sosial Instagram sebagai
galeri pribadi karyanya.
Sementara
itu, sebagai kartunis yang bermukim di ibukota, Azer lebih banyak mengungkapkan
persoalan warga kota besar—terutama kelas menengah—melalui karyanya. Lewat
karakter yang dinamai Simon, Azer menawarkan humor satire yang seakan mereplika
kisah persoalan hidup masyarakat urban. Mereka antara lain adalah kalangan
pekerja kantoran yang cukup tanggap dengan isu aktual tapi juga membutuhkan
hiburan. “Makanya komik-komik gua
kebanyakan satire dan humor,” Azer beralasan.
Gambar 2.
Karakter Simon dalam Kartun Komikazer
Dengan watak Komikazer
yang demikianlah, kartun guratan tangan
Azer hadir sebagai sebentuk budaya populer. Komik yang demikian, seperti
disebutkan Putu Wijaya (1997: 107), merefleksikan geliat masyarakat atau bangsa
sebagai sekumpulan warga yang hidup dalam lingkup wilayah tertentu, dalam
konteks ini Indonesia. Sebagian besar kartun Komikazer mencerminkan tindakan,
pikiran, dan tuturan warga perkotaan yang bersinggungan dengan isu
sosial-politik aktual.
Lain Azer, lain pula Dilayoe.
Dila menuturkan, ketertarikannya mempelajari medium video dimulai sejak
mengikuti lokakarya produksi video di kota asalnya, Bandung, yang diadakan OK.
Video di bawah koordinasi Divisi Pengembangan Seni Video ruangrupa. Video Azab
Perempuan Matre yang dia buat adalah hasil karya dari lokakarya ini. Pilihan
video sebagai medium karyanya dilatarbelakangi kapasitas video yang baginya
mumpuni sebagai bahasa untuk mengungkapkan gagasan. Bertajuk MILITIA, OK.
Video sebagai festival video internasional yang digelar kali ketiga itu memutar
seratusan karya video di Galeri Nasional, 10–27 Juli 2007 silam. Di galeri inilah
karyanya mulai menghampiri publik penonton yang menghadiri festival tersebut.
Gambar 3.
Tangkapan adegan dalam video ‘Azab
Perempuan Matre dan dan Pacarnya Yang Selingkuh di Kota
Kembang’
Dalam Azab Perempuan Matre, bahasa visual atau
teks dialog antara tokoh Fernando dan Maria disajikan secara renyah dan bergaya
anak muda metropolitan. Kita akan dibuat terkekeh-kekeh sekaligus menahan keinginan
untuk tertawa lepas. Sebab di sepanjang cerita video ini, banyak representasi
dari tayangan televisi yang diungkapkan. Tak saja di bagian awal video yang memperdengarkan
lantunan bernada sendu persis seperti lagu dalam sinetron religi, sorotan kamera
pada gerak-gerik dua karakter utama di video ini mengesankan kelucuan. Boneka yang
menjelma sepasang kekasih, Fernando dan Maria, menarik perhatian sejak pertama hadir.
Mereka saling menyapa dengan suara yang dibuat lembut. Isian suara yang berganti-ganti
dalam dialog antara tokoh laki-laki dan perempuan menjadi terkesan unik. Kita pun
sadar bahwa menonton video ini tak ubahnya menyaksikan pertunjukan sebuah permainan.
Selain suara Dilayoe yang disamarkan menjadi ucapan karakter dalam video, tangan
dan jemari yang terlihat menggerakkan atau memain-mainkan boneka menjadi
acuannya.
Diterka dari metode bercerita
yang memunguti remahan unsur tayangan televisi, video Azab Perempuan Matre mudah diterima oleh kalangan masyarakat manapun.
Tidak hanya pelajar dan mahasiswa, warga umum lainnya juga dengan segera memetik
beragam kesan dari video ini. Dila sendiri mengakui, video ini ditujukan bagi
siapa saja. Begitu pula ketika karyanya menjadi salah satu video yang dipamerkan
di Galeri Nasional. Azab Perempuan Matre
sudah menyinggahi mata dan pikiran pengunjung yang mencakup publik luas nan heterogen.
Menyangkut konteks
media gambar bergerak, Agung Hujatnikajennong menulis dalam katalog OK. Video MILITIA, “Video adalah sebuah
entitas kesatuan bahasa dalam bentuk citra bergerak dan (atau tanpa) suara yang
spesifik, sehingga apapun wujudnya diasumsikan ‘bermakna’ atau paling tidak
menimbulkan dampak indrawi tertentu.”[i]
Dari sinilah dapat dipahami video merupakan medium yang dapat menyampaikan
beragam hal dengan pesan tertentu atau perantara dalam rantai representasi
politik, budaya, ekonomi, maupun sosial.
Secara khusus dalam
video ini, kritik dari kegelisahan Dila atas isi program televisi berhasil terkuak.
Tak sekadar seragam dalam bentuk sajian sinetron, telenovela, hingga tokoh
fantasi produk Barat yang mewakili citra lelaki dan perempuan, video ini menyodorkan
sebuah kesederhanaan komunikasi pandang-dengar yang merefleksikan kembali isi
televisi kita hari ini. Ternyata, kita mafhum dan insaf, rasa jemu serta jengkel
tetap saja menempeli benak kita saat berpaling ke televisi. Dalam rupa hiburan
yang berbeda dibanding awal 2000-an, konten acara hiburan yang monoton,
dangkal, dan murahan (selain dibuat dengan budget
rendah, sejumlah program TV memang bermutu rendah atau “murahan”) masih menjiwai
TV. Terkait hal ini Dila berujar, “TV itu selalu punya cara untuk pembodohan
dan lain-lain. Jadi beda bahasa saja sih. Cuman, orang perlu tahu apa yang
terjadi di masa itu dari apa yang terungkap di dalam video gue. Sekarang TV pun
ternyata masih banyak kekurangannya.”
Menyimak video Azab Perempuan Matre lantas menggugah benak
kita mengenai keberadaan dan fungsi video sebagai media yang menyusun lalu menampilkan
kembali representasi teks audio-visual asalinya. Ia, dengan demikian, hadir
sebagai bentuk re-representasi yang mengembangkan
representasi dari teks dasar yang diacunya. Di titik inilah, video mampu menjadi
alat edukasi untuk membuka kesadaran sebagian masyarakat yang terlampau lena atas
isi sajian televisi yang telanjur bertabur stereotip, laku kekerasan, sampai
banalitas yang sesungguhnya direka-reka.
Lantaran potensinya
sebagai corong ide yang merespons masalah sosial itulah, media video telah mewujud
sebagai bagian dari pertumbuhan budaya visual kontemporer. Menurut Agung
Hujatnikajennong, perkembangan video di Indonesia telah masif sebagai “perantara
kebenaran”. Praktik pembuatan dan penyebaran video kian jauh bertumbuh sehingga
dikenal dan diakses secara meluas oleh masyarakat.[ii]
Maka dapatlah dikatakan bahwa video telah menjadi unsur yang penting dalam menandai
corak budaya populer mutakhir.
Pada akhirnya, kartun Komikazer
dan video Azab Perempuan Matre mengundang
kita untuk berhenti sebentar dari hiruk-pikuk keseharian nan melenakan. Buah
dari goresan tangan Azer yang tersalurkan lewat karakter “aneh” yang menjelma
karikatur mengajak kita bermain-main dan berekreasi secara kreatif. Entah ingin
tersenyum simpul atau tertawa lepas, silakan. Sementara Dilayoe sebenarnya juga
menyentil kita untuk menyadari keberadaan video yang dapat menjadi media
pembelajaran, dengan setidak-tidaknya terlebih dahulu mengejek konten program
televisi yang semakin genting (atau juga tidak penting?). Maka, dari kedua
contoh bentuk karya seni rupa ini kita diimbau secara pelan dan berbisik: “Hei,
manusia, mari bermain dengan sungguh dan tidak main-main!”[]
(Ulasan ini adalah buah karya dari keikutsertaan saya dalam lokakarya kritik seni rupa dan kurator muda 2014, Jakarta, 10-22 November 2014.)
(Ulasan ini adalah buah karya dari keikutsertaan saya dalam lokakarya kritik seni rupa dan kurator muda 2014, Jakarta, 10-22 November 2014.)
Referensi:
Wijaya, Putu. 1997. NgEH Kumpulan Esai. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Katalog OK. Video MILITIA 3rd Jakarta
International Video Festival 10–27 July 2007. Jakarta: Ruang Rupa.
[i] Agung Hujatnikajennong. 2007. Katalog OK. Video MILITIA 3rd Jakarta
International Video Festival 10–27 July 2007. Jakarta: Ruang Rupa. Hal.
20–21.
[ii] Ibid.