Gambar diambil dari: yogahart.wordpress.com
#SuratbuatPuanMaharani
Di depan Balai
Desa Condongcatur, Yogyakarta.
Ayah: “Saiki ki estetika
wayang wis diwolak-walik kok, Le…”
Putra: “Ngapa,
Yah?”
Ayah: “Lha deloken
kuwi…”
Ayah bertutur
panjang-lebar-tinggi soal pentas wayang kulit di balai desa itu yang sudah tidak lagi
mempertontonkan bayang-bayang (Jawa: wayang)
dari tokoh-tokoh wayang, melainkan memajang para penyanyi (sinden) cantik, dalang yang terlihat memain-mainkan boneka wayang,
lengkap dengan permainan bebunyian memekakkan telinga.
Dalam diam, Ayah
menggumam sambil mengusap kepala putranya.
BAGAIMANA INI,
KALAU-KALAU ANAKKU SUDAH BEGITU LEKAS SEKALI MENGENAL PEREMPUAN ADUHAI. PULA
TINDAK KEKERASAN, BERANTEM, EJEK-EJEKAN YANG TERLIHAT LANGSUNG DIMAINKAN OLEH AKTOR-AKTOR
INTELEKTUAL BERNAMA DALANG TANGAN-TANGAN JAHIL! INI TAK UBAHNYA DENGAN YANG ADA
DALAM TELEVISI. ASTAGFIRULLAH….!!
Putra: “Nek estetika
wis diwalik berarti wis ra estetis ya, Yah?
Ayah: (Setengah terkejut) “Eh, yo, mbuh, takona
guru kesenianmu! Ini karena salah eyang buyutmu, Le, yang dulu tidak sempat
mengajari eyangmu nonton beginian. Salahkan kakekmu, yang belum pernah
sekalipun mengajak ayah datang ke panggung seperti ini. Ayah sendirian, Le, suka
nonton wayang dan ketoprak. Dulu sekali, pas masih muda, zaman bersenang-senang
itu.”
Putranya
mengangguk-angguk, antara mengerti atau tidak.
Ayah: “Hayo, Le,
gek ndang dipangan Mister Burger-nya. Ndak selak anyep. Ben wayang iki wae sing
anyep!”[]
Ttd.
Saya