Seperti hari Jumat biasanya, kemarin Lintang menengok
ke bawah dari atas balkon rumahnya. Satu per satu ingatannya tercelik oleh
gemerlap suasana jalanan di pusat kota. Kota Jakarta, gubuk peristirahatan yang
memberinya tumpangan sejak tujuh tahun lalu. Ada cerlang kerlip lampu jalan dan
kendaraan yang lalu-lalang di sana. Gedung-gedung angkuh layaknya ketinggian
mereka yang melampaui tinggi rumahnya, pun tinggi tempat ia berdiri sekarang:
balkon. Ya, balkon, suatu harapan yang akhirnya terengkuh sejak lama. Jauh sebelum
pindah ke kota Jakarta.
"Aaah, Ibu, adik mau balkon... Balkon, biar
kudapat melihat-lihat ke bawah... Pasti hebat, adik jadi tinggi sekali, semua
yang di bawah terlihat jelas sekali. Indah, begitu indah!" Lintang
setengah merengek setengah berpuisi meminta hadiah sweet seventeen-nya. Ibu mengangguk pelan, bukan mengiyakan, meski
Lintang menangkap sinyal itu sebagai: "Ya, balkon untukmu." Lintang
sebentar kemudian menahan harapan. Agar juga nanti tidak terlalu kecewa
belakangan.
Memang, tujuh tahun lalu itu, Lintang gadis manis
menjelang puber. Namun wataknya sedikit lebih dewasa dari umurnya. Pikirannya
kritis, logis, meski tak luput dari emosi mengamuk yang meluap saat ia
menangis. Dia pernah ditinggalkan sahabat lelakinya.
Ibu Lintang akhirnya memberinya tawaran: mengasuh nenek di sebuah kota nan jauh dari kampung. Lintang berpikir, “Mengasuh Nenek? Nenek yang dulu mengajariku menggambar panggung tinggi beratap tapi nenek menyebutnya rumah panggung itu? Nenek apa kabar?” Akhirnya Lintang paham, di separuh masa senjanya, nenek ingin ditemani oleh orang terdekatnya.
Setidaknya
olehku, cucunya, setelah Kakek pulang. Pergi selamanya dua tahun lalu.
Lintang menggumam lirih.
Satu setengah hari berpikir, Lintang setuju. Ibunya
meminta kepastiannya agar Lintang tak menyesal kemudian. Tidak, sekali ini tak.
Ia mantap melangkah berpindah ke rumah Nenek. Di Jakarta. Terletak kurang-lebih
satu kilometer dari Bundaran Hotel Indonesia. Di sebuah sisi Jalan Thamrin. Jalan
yang kala banjir disebut sebagian orang jadi Sungai Thamrin.
Dan malam ini, Lintang terharu sekali, dia melihat
berjuta-juta cahaya. Gemilang. Seperti bintang. Atau, terlihat pula dirinya di
sana: Lintang, nama pemberian neneknya. "Love you, Nenek," ia memeluk foto perempuan tua yang sangat
dicintainya itu. Di bawahnya bertulisan: Lintang Dina Menari - Batam, 16-8-1934 | Jakarta, 20-9-2013.
***
Gedung CommaID,
Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, Sabtu, 21 September 2013, pukul 16.00.
Foto dari embundaunhijau.blogspot.com